Lihat ke Halaman Asli

Kang Marakara

Pengangguran Terselubung

Puisi: Yang Tersisa dari Perang

Diperbarui: 8 November 2022   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Ketika perang menjadi pemuncak sebuah pertikaian, adu kuat adu perangkat kemudian meningkat. Siapa membasmi siapa, mengapa harus menumpas apa, bukan lagi persoalan utama. Perang adalah cara barbar yang di pelihara oleh bangsa moderen, di poles manis dengan dalih dan kepentimgan nasionalis.

Tank menghancurkan tank

Senapan menyalak mencari sasaran

Ranjau darat meledak mencabik siapa saja yang menginjak

Peluru kendali menyasar musuh, tanpa nurani tanpa ragu

Semua hancur bagai kepingan debu, berserakan tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, tanpa sempat menanyakan alasan, "Mengapa kami di bunuh, mengapa rumah kami di hancurkan, mengapa martabat kami di rendahkan."

Kemudian yang tersisa hanya tangis, kehilangan, ketakutan, kepedihan.

Para pemangku kekuatan menonton dari layar besar, mengotaki taktik dan strategi kematian, mencipta skenario terburuk bagi kemanusiaan.

Korban bergelimpangan, kerugian menyentuh ambang kengerian, tapi tombol memulai perang tengah asyik di permainkan. Kekuatan besar semakin arogan, kepentingan nasional menjadi alat pembenar.

Yang tersisa akhirnya adalah rasa sakit kehilangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline