Lihat ke Halaman Asli

Kang Marakara

Pengangguran Terselubung

Puisi: Hujan Deras di Way Rumbuh

Diperbarui: 9 Oktober 2022   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Aku berteduh

Hujan deras menggiringku ke sebuah pondok bambu, gelap tanpa penerangan, karena aliran listrik seketika padam ketika guntur menggelegar. "Ah, biasa." gumamku.

Jauh di pedalaman, sebelah tenggara kota Tarakan.

Bersama curah hujan yang menemani, lebih dari dua jam aku memanipulasi diri, menyaksikan gubuk reot meratapi sunyi. Seperti maestro yang mampu membaca kegaiban pribumi, atau seorang petualang sejati yang tengah tersesat di dimensi hayali.

Ku kira hujan akan segera reda, tapi ternyata nyanyian katak sawah lebih memukau dari doa. Pintaku ternyata penuh ragu dan kepentingan biasa, sehingga pemangku alam dengan segera menambah debit air tercurah ketanah, biarkan aku kedinginan dan meringkuk di permainkan ratusan nyamuk menghunus pedang.

"Hujan sialan!" tapi kata kata itu segera ku tarik ulang.  Aku takut pesan ibu akan menjadi kenyataan, menolak rahmat adalah kejahatan. Dan kemarahan alam bisa datang dari hal yang tak pernah terbilang. Karma hanya sejengkal dari ucapan.

Ku rapikan jaket hitam bergambar macan kumbang, semoga nyaliku adalah macan, dan kemampuanku membujuk hujan adalah jempolan.

Dua jam dalam hujan adalah cermin menata jiwa, atau malah penjara terindah bagi seorang lelaki yang tak tau lagi hendak kemana mengadukan pembalakan liar dan kerusakan hutan.

Air hujan mengalir deras, melewati bukit tanpa pertahanan. Menngerus segala yang tampak, mengangkut habis gelondongan kayu sisa pembalakan hutan.

"Banjir, banjir" teriak alam mengingatkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline