Menuliskan kisahmu seperti menyiramkan cuka pada luka, perih pedih tak terkira, sakit dan kecewa tanpa lagi di barengi genangan air mata.
Endura, matamu menceritakan banyak kisah. Tentang kampung halaman yang tertinggal, ibu-bapak dan orang-orang tersayang yang mesti berjuang demi sesuap makan, atau tentang cerita indah masa depan yang bagai tergantung di antara petir dan topan.
Engkau gadis belia, berbaju motif bunga-bunga yang hampir pudar warna kainya. Menjejakan kaki mungil di tanah seberang, mengais nasip berharap perubahan.
Endura yang malang, perempuan lugu tertipu tangan-tangan kejam. Belum memahami bahwa tidak semua mausia berhati baik seperti tetangganya. Terdampar di warung remang-remang sebagai penggembira.
Jika ada sakit, Endura telah merasakan semuanya. Jika ada perih karena kecewa, Endura telah memeluknya sejak lama.
*****
Baganbatu , Maret
2022Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H