Sundiri, bocah gunung berkuku kayu dan pakis duri. Menatap hamparan kelapa sawit sambil memetik buah pelangi, berlari kencang di hutan keladi hingga matanya menari.
Tangis yang tertahan, gubuk reot di pinggir hutan larangan. Suara mesin penebang kayu menerbangkan harapan, semakin ciut nyali membayangkan masa depan.
Kemana perginya sungai jernih penuh ikan, mengapa tak lagi terdengar sapa hangat siamang dan kucing hutan.
Sundiri menatap masgul tempatnya di lahirkan, hilir-mudik truk pengangkut debu menyeramkan, meninggalkan deru betapa terpinggirkan sang pemilik lahan.
Sundiri hanya mengadu kepada Tuhan, agar sekolah berdinding papan tak menjelma penjara setan. Menilik kebelakang, bayangan bapak dan ibu tersenyum hambar, kan jadi apa kelak takdir anak semata wayang.
Sundiri.
*****
Baganbtu, februari
2022Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H