Dua hari ini hujan menderas bak menciumi bumi, ada rasa enggan di setiap tetesan air menawar, seakan tiada rela meninggalkan tahta di atas awan sana. Seperti aku, kamu, dia, dan juga mereka, perlambang duka dan hampa tentang urusan rasa.
Bunga bermekaran, gadis-gadis ayu melantunkan dendang. Irama sekenanya, nada-nada rancau tapi mewkili hati pura-pura bahagia. Begitulah sejatiya. Berbahagia meskipun semu dan beruang hampa.
Dua sejoli dengan jas hujan bermotif ironi, melintasi jalan setapak setiap duabelas jam sekali. Sejak kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga tulang kaki terasa patah, karena usia.
Tapi seperti anggota KPK yang korban TWK, atau isu bangkitnya komunis yang muncul reguler menyerupai gelaran piala dunia, hujan, bunga, kubangan tanah basah. Mewakili ribuan tafsir dan makna.
Di sisi ini, aku hanya penonton tak bermata.
*****
Baganbatu, akhir september
2021Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H