Bertumpu pada rumput dan seikat perdu. Malam semakin menjelang, siang hilang tanpa bayangan selamat tinggal. Memenuhi kodrat alam, menangisi segala yang tanggal.
Langit pecah seiring duka, berserakan tawa menghina. Bianglala tiba-tiba putar arah, berhimpitan, tumpang-tindih dengan gradasi senja. Entah mengapa.
Tangiskah itu? Butir debu menyatu di kelopak matamu. Tetes hujan metafora kehilangan pegangan. Hanya sebentar, lama terasa menghujam perasaan.
Jika ini duka, mengapa berulang hingga malam tiba. Malukah kepada rembulan di puncak menara, irikah nyanyi serangga berdendang kasih dalam gulita.
Mengapa menangis?
*****
Baganbatu, juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H