Kegiatan menulis di era teknologi internet memang mudah. Aneka platform menulis tersedia dengan segala kemudahan dan keunggulanya. Asal ada kemauan, maka tulisan akan segera tayang di rana maya, tersebar dengan cepat, dan akhirnya bisa jadi akan di baca oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang.
Tapi dengan segala kemudahan itu, kita menjadi latah untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang nantinya akan jadi konsumsi orang banyak. Kadang tanpa pikir panjang, hanya karena terbawa suasana, tangan ini seperti tidak sadar telah mengetikan ribuan aksara yang kemudian menjadi rangkaian kata membentuk kalimat. Kemudian cepat-cepat di unggah ke dunia maya.
Tapi sejurus kemudian, setelah tulisan terlanjur beredar, barulah kita menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang tepat dari tulisan itu. Entah isunya sudah basi, sumber beritanya meragukan, atau malah kadang karena pembacanya yang memberi komentar pedas, atau malah tidak ada pembacanya sama sekali.
Nah karena gampangnya menghasilkan tulisan, ternyata membuat sebagian kita jadi gampang pula untuk menghapus tulisan yang terlanjur tersebar. Tentu masing-masing orang punya alasan pribadi melakukan hal itu, dan itu adalah hak masing-masing individu penulis.
Jika alasan menghapus tulisan karena tulisan tersebut berpotensi menimbulkan keonaran, menciptakan kepanikan, atau karena ada kebohongan dan penipuan di artikel tersebut, tentu menghapusnya lebih utama daripada membiarkanya beredar dan di baca banyak orang.
Tapi bila keinginan menghapus tulisan hanya karena merasa tulisanya kurang bermutu, kurang laku, kurang pembacanya, kurang di apresiasi masyarakat, rasa-rasanya koq terlalu kejam. Kecewa itu hal yang wajar, tidak puas dengan respon pembaca juga hal yang lumrah, tapi berniat menghapus tulisan hanya karena merasa telah mengerahkan kemampuan terbaiknya menulis suatu artikel, tapi penilain dan respon pembaca biasa-biasa saja bahkan cenderung meremehkan, itu sesuatu yang kurang tepat.
Masih ingat ketika pertama kali belajar menulis di sekolah? Kita yang masih lugu, pemalu, belum tahu apa-apa, bahkan masih takut dengan bapak-ibu guru, harus mulai belajar menulis di kelas. Terbayangkan bagaimana perasaan kita saat itu? Belum lagi bila ingat bagaimana hasil tulisan pertama.
Seandainya anda membaca kembali tulisan di awal-awal belajar dulu tersebut, apakah anda akan merasa malu? merasa tidak pantas? atau ingin menghapusnya? apalagi sekarang di belakang nama anda ada sederet gelar akademis yang pasti menunjukan mutu ilmu yang mumpuni.
Sesungguhnya kita adalah pribadi yang sedang berproses, adanya hari ini pasti di dahului proses masa lalu. Dari tidak tahu, menjadi sedikit tahu, akhirnya menjadi pribadi yang mampu memahami dan menyelami banyak hal. Dari kelas satu SD baru meningkat kelas dua dan seterusnya hingga sarjana.
Begitu juga dengan menulis, tidak ada penulis hebat tanpa di dahului proses belajar dan mendaki setahap-demi setahap. Yang hari ini tulisanya memperoleh banyak pujian dan sanjungan, bisa jadi setahun atau dua tahun yamg lalu adalah penulis pemula yang tulisanya bahkan tidak di lirik para pembaca.
Jadi masih berniat menghapus tulisan hanya karena sepi pembaca? Rasa-rasanya kita harus berani menjawab dengan tegas dan lantang, " Jangan dulu ah!" anggap saja tulisan jelek kita itu sebagai monumen untuk selalu giat belajar dan mengkoreksi kemampuan diri.