Di sana rumahku! Bertengger di dahan mawar putih, berbatas pabrik kata-kata konsumsi para priyayi. Hanya sejengkal sebelum kursi tinggi sebagi monumen, jalan beraspal dan berkarpet mahal, ribuan tanaman penghisap daya hidup berdampingan.
Ada slogan bercat merah di cetak besar, angin barat laut berulang kali ingin menjungkalkan, tonggak besar dari ikatan lidi menopang segala beban. Bunyi-bunyian seperti instrumen penyambutan selamat datang, berdentang melengking mengguncang isi pandangan.
Sungai itu tempat kami bermain. Memunguti aneka aksara yang tak terpakai, merangkai kembali janji-jani yang telah patah ujungnya. Kadang berenang di antara buih memabukan, sambil menghirup aroma persengkokolan yang tak mau hilang.
Kami hanya anak-anak. Mana peduli dengan papan peringatan di tiang jemuran, yang kalimatnya berganti-ganti setiap lima tahun sekali. Bukan tak sempat membaca, bukan kami tak mau membaca, tapi lidah kami telah keluh mengutip kata-kata, suara kami telah beku mengutuk sumpah-sumpah.
Datanglah sore ini, saat-saat sebelum waktu berbuka tiba. Ada jutaan kata-kata yang menjadi sampah, ada luapan janji-janji yang berupa buih berwarna jingga. Datanglah! Engkau pasti akan mengerti akhirnya.
Bagan batu, April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H