Lihat ke Halaman Asli

Kang Marakara

Pengangguran Terselubung

Puisi | Menjadikan Ranting Patah sebagai Alibi

Diperbarui: 19 April 2020   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sepanjang perjalanan kata-kata, ribuan titik koma segera menjelma menjadi hulubalang, menjaga dan menterjemahkan kedalaman rasa sekehendak sabda. Suara sebagai tungganganya, butiran mutiara hikma sebagai pembeda. Siapa si pandir, siapa sang begawan nyatanya.

Riak-riak jernih berubah cepat menjadi comberan, tenangnya air tergenang menelan korban. Berenang atau menyelam dalamnya samudera bicara, mendengar kemudian menyampaikan tanpa tata bahasa, kehilangan citra diri sebagai si bijaksana.

Seumpama kata-kata tanpa di mintai pertanggung jawaban, dunia telah di penuhi banjir darah. Genangan air mata gampang tertumpah, ranting kering mudah patah sebagai dalihnya. Ringan dalam pengucapan, mengalir cepat melebihi aliran darah.

Sampai bila ranting-ranting menemui ajal, sampai bila berpatahan dalam gendongan sang ibu alam. Tak! Bunyi sabda meneriakan kata, setelah itu terjerembab tanpa daya. Ribuan aksara tanpa makna memenuhi pemakaman, arti dan makna menangisi sambil mengucapkan kutukan. "Berdebatlah atas nama kesombongan."

Bagan batu, April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline