"Mari duduk di sebelahku" pinta tiang lampu taman menghiba, butiran rindu berpendar mengalahkan cahaya yang tersisa. Dua bocah tanpa alas kaki merapat mengharap angin dingin segera berlalu, menjauh hingga tak pernah kembali lagi. Gigil tubuh memeluk gelap yang tersamar, tiang lampu taman tersenyum memiliki teman.Serangga malam meringkuk diam dalam lubang dekat comberan, menanti untaian kisah mengharukan tentang keperkasaan gelap menguasai malam. Berabad-abad yang lalu, melewati lintasan waktu sejak zaman batu.
"Kemana engkau hendak terbang?" Tanya pilu tiang lampu kepada angin malam. Begitu berulang pertanyaan standar yang tetap sopan. Jawaban hanya bentuk pengakuan, kecut hati melubangi rindu hingga ke inti perasaan.
Angin malam,bocah tanpa alas kaki, serangga malam, gelap yang menguasai. Masing-masing menanti suratan takdir di berikan, tentang kepastian akan kesudahan cerita usang yang terus berulang.
Tiang lampu taman terdiam. Hening dan sunyi ketika mereka bersepakat untk segera pergi. Malam mungkin menyaksikan, sedang ia terikat kontrak abadi bersama gelap. Ini yang mengunci.
Bagan batu, april 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H