Ketika pertama kali hati ini terluka, ku biarkan air mata membasuhnya. Perih teriris pada selaksa rasa, patah berderak setiap kali ku titipkan sebuah nama. Berulang hingga air mata menggenangi pelataran hati, mengering untuk kemudian terluka lagi
Untuk yang keseratus kali, air mata telah mengering sekedar untuk mendinginkan derita. Hatiku mulai berdarah, membusuk dan bernanah di gores sekian nama menghujam kecewa
Ku gali padang gersang sebagai kuburan duka, mencampakan segala kepedihan kedalamnya, menimbunya dengan segala sesal dan kenangan yang masih tersisa. Tanpa lagu gugur bunga sebagai pengiringnya, tanpa tabur bunga sebagai penutup semua cilaka
Tapi aku terlalu dalam mengubur kenangan. Di saat aku merindukan air mata yang dulu pernah ku punya, di saat kini aku merindukan hatiku walau dulu sering tersakiti, aku tak mampu menjangkau kenangan itu, aku tak mampu sekedar merasakan tanah basah bekas air mataku tertumpah
Kemana kini hendak ku cari kepingan hati, biarlah penuh luka dan bernanah, tapi aku merindukanya. Kini jasadku tanpa hati tanpa air mata, tanpa benci tanpa rindu yang bisa menimbulkan sejuta rasa
Bagan batu di akhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H