Lihat ke Halaman Asli

Kang Marakara

Pengangguran Terselubung

Puisi | Ketika Engkau Menyentuh Pagi dengan Nurani

Diperbarui: 28 Januari 2020   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay,com

Hujan membelah pagi. sunyi mencapai puncak dingin hampir membekukan. menyentuh tirai kabut tebal dengan rintik pertama, mengusir paksa embun hingga jatuh ke tanah. Selanjutnya, rintik hujan susul menyusul bagaikan curahan suara hati yang tiada henti. Terus menerus tanpa menyisahkan secuilpun tanah kering tempat mengeringkan perasaan, ritme terjaga bagaikan gadis belia menari dalam dekapan irama yang memabukan

Engkau memaknainya dengan tangan gemetar. bibir pucat pasi tak satupun kata-kata mengiringi rintik jatuhnya hujan, terasa berat mengedipkan mata di saat hati terperangah oleh suasana. Inikah keajaiban semesta itu? suara hati terwakili sekian miliar butiran syahdu yang tak berkesudahan. Engkau tadahkan tangan hendak menyentuh aliran emosi yang memagari pagi, berharap menemukan jawaban dari sekian banyak kata tanya yang memberontak di dalam nurani 

Hujan, pagi, dingin, sepi, hampir menyatu dengan sempurna membungkus perasaan. Engkau tak kan mengerti, engkau akan terus mencari. sampai kapan? hujan mungkin sebentar lagi akan meninggalkan, dingin berangsur pulang menuju peraduan. Tinggal engkau dan secuil kenangan di tanah basah tiada jejak tertinggal

Masih ada harapan setelah hujan reda dengan sendirinya, aliran air mengajakmu menelusuri kisah kemana hendak bermuara. melangkah, meski keinginan hati masih ingin berharap hujan dan pagi terulang lagi 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline