Kabar telah tersiar,ibu Megawati mengabaikan bapak Surya Paloh ketika mereka berjumpa dalam suatu acara di gedung DPR. Sontak masyarakat menjadi heboh, kita terbatuk-batuk menyaksikan hal yang demikian.
Ulasan dan analisa bermunculan, si A mengatakan demikian, si B Pula punya pandangan yang lain.semua ngomong politik, semua menjadi fokus kepada kedua sosok elit partai tersebut.
Padahal bila dicerna dan di kunyah secara perlahan hingga lumat itu informasi,hal demikian adalah hal yang wajar.begitulah tabiat politikus kita.hari ini berseberangan bahkan terkesan bermusuhan,besok sudah bergandeng mesra bak pasangan serasi yang sehidup semati.begitu pula sebaliknya,yang mesra pagi ini,bisa jadi musuh sore nanti.
Kemana perbedaan yang kadang menyulut pertikaian di ruang publik? Semua ambyar bak debu tertiup angin.tinggalah kita sebagai rakyat yang tergagap-gagap memaknai situasi.para elit yang mempertontonkan gontok-gontokan (hingga akhirnya rakyat terbawa suasana permusuhan),sudah makan malam bersama., bahkan bergandengan tangan.
Dan lebih celaka lagi bagi kita kaum penggembira ini,pemilu usai,para tokoh panutan,para elit partai yang selama ini seperti dekat dengan rakyat tiba-tiba membuat jarak.seakan-akan mereka tidak mengenal kita,mereka tidak memahami kita.
Contoh aktual adalah UU KPK,begitu gencarnya rakyat dan mahasiswa menolak;para elit politik di DPR dan pemerintah seperti tak mampu memahami apa mau rakyat.bahkan mereka cenderung menafsirkan keinginan rakyat seperti keinginan dan apa yang mereka utamakan dipikiran para elit.
Dan keriuhan terjadi sebatas omongan. teori politik di telan habis untuk menjelaskan situasi,masing-masing elit merasa paling memperhatikan nasip rakyat.segala sesuatunya di klaim demi rakyat.bila kita simak omongan para petinggi negeri, bisa di pastikan mereka mengaku memperjuangkan aspirasi rakyat.
Tapi rakyat yang mana? Semua ngomong demi rakyat,giliran rakyat turun kejalan,para elit membuat jarak. Keinginan rakyat ternyata tak ditempatkan semestinya,para elit politiklah yang menentukan siapa-siapa saja yang boleh di sebut "rakyat".
Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa politik hanya menjadi omongan.namun langkah nyata jauh dari harapan publik.omongan di utamakan,karena segala alibi bisa di suguhkan.dan dalih demi rakyat bisa jadi masih menjadi mantra sakti para elit negeri untuk membela diri.
Bila nati terjadi lagi dagang sapi di pemerintahan dan politik negeri ini,siap-siaplah kita semua ngomong poltik sampai berbuih-buih.politik omongan menemukan habitat yang sempurna,karena kita masih belum dewasa bermain dalam politik.
Kapan ini berakhir? Mungkin menunggu keajaiban itu datang.kapan? Hanya tuhanlah yang tahu.