Lihat ke Halaman Asli

Ranggila Mengenang Bandung

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14080833051455338814

Lima jam berlalu dari tengah hari, hari Jum’at. Awan kelabu bergelantungan di cakrawala seperti Tarsan. Surya sang raja siang, sudah minggat duluan. Katanya sih izin, ada keperluan keluarga. Jadi saja, berkas sinar yang biasa terpancar, absen sore itu. Akibatnya, cuaca jadi tak terik, hanya sejuk yang menusuk, khas Kota Kembang.

“Heh, jika aku berkata bahwa Paris ada di sini, bukan di Perancis, percayakah kau?” seru seorang lelaki dekil, berpakaian compang camping, pada serombongan hewan berkelir hitam, yang diabadikan namanya di dalam Qur’an. Tak terdengar jawaban, hanya senyap.

“Hey kamu, jawab ih!” katanya lagi setengah menghardik. Mungkin dia menganggap dirinya Sulaiman, yang dapat bercengkrama dengan hewan. Atau dia kadung tahu, bahwa semut bisa berbicara, seperti saat ditanya Eno Lerian, si penyanyi cilik pada masanya.

Cicing wae, ngomong atuh! (Diam saja, bilang donk!) Paris itu memang di sini, di Bandung. Tapi itu dulu, sebelum Paris Van Java hanya jadi nama sebuah mall.” Lelaki itu tampak tersenyum sejenak untuk lalu menangis sesenggukan. Sedang semut-semut itu mungkin akan menjawab, “oe oe, itu katamu.”

Teu rame ah,” (Teu rame=Gak seru) Kecewa dia, dengan respon yang ditunjukkan lawan bicaranya. Kedua tangannya yang hitam berdaki, cekatan meraih seekor kucing, yang sibuk mengais rejeki, dari tumpukan sampah membukit. “Ngeoooong….” meronta kucing itu, seolah tak sudi dijamah tangan-tangan kotor si lelaki. Jual mahal nih ye.

“Dan dulu meng, tahukah kamu, bahwa kota ini bergelar Kota Kembang disebabkan oleh keindahannya. Tapi itu dulu, sebelum Kota Kembang hanya jadi nama pasar.” serius sekali dia berujar, sorot matanya nanar. (Meng, panggilan orang sunda untuk kucing, singkatan dari emeng/kucing)

“Meoonngggg, meoonng,” kucing itu tak henti meronta, seperti mau diperkosa. Padahal itu kucing jantan, kumis di dekat mulutnyalah penunjuknya.

“Dan dulu, duluuu sekali, Bandung itu sejuk, karena banyak pepohonan dan taman. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah, jadi deretan billboard dan spanduk iklan.” Ah, dia ngomong seperti seorang pakar, bukan dago pakar, tapi pakar ke-Bandung-an.

Meng, reum, tahukah juga wahai kalian bahwa Bandung, yaitu dulu, kaya akan bangunan-bangunan sejarah bearsitektur megah nan indah. Kota heritage, itulah dia. Pun kini, heritage itu, hanya tinggal nama, nama toko penjual busana.” Dia bilang begitu sambil menerawang entah kemana, seolah mengenang Bandung, beberapa masa ke belakang. (reum=sireum/semut)

Bandung heurin ku tangtung, bener ceuk kolot baheula. Jadi hese usik kieu aing mah.“ (Bandung semakin padat, benar kata orang tua dulu. Jadi susah untuk bergerak) Bersungut dia berucap, jemarinya lincah menari, mengelus kucing yang lucu dan seksi.

Sementara senja mulai merambati hari, langit jadi menghitam namun tak pekat. Anehnya, aktivitas di kota ini terus menggeliat, seperti cacing menari kepanasan. Dan lelaki dekil itu, kini mulai beranjak dari duduknya. Kucing dalam dekapan, tak lagi diperdulikan. Garuk-garuk dia, untuk lalu memandang berkeliling dan menguap. Dia mungkin sadar, bahwa hari bergerak menuju malam. Tak lama berselang, gontai dia berjalan, Menuju halaun, yang dia dan tuhan saja yang faham.

Dari sebuah warung kopi, sepasang mata lekat memandang, gerak gerik si lelaki. Pemiliknya tak lain, seorang berseragam coklat khaki, dengan nama dan pin korpRi tersemat di dada kanan dan kiri. Di benaknya muncul kekaguman, pada dia yang kerap dianggap tak waras. Padahal baginya, racauan yang menghambur dari si gila, bahkan lebih waras dan rasional, dari perkataan orang yang normal.

Tak pelak sore itu, dia disuguhi ironi yang menampar. Membangunkan kesadaran, membangkitkan kegelisahan. Dan Bandung yang ditinggalinya, kian menua dan karatan. Sedang kepedulian, kecintaan, dan rasa memiliki, perlahan mulai sirna, dari penduduknya kebanyakan. Yang tersisa dari Kota Kembang, mungkin hanya kenangan, kemacetan yang kian jadi, sampah yang menjulang, dan daftar persoalan.

Berlalu dia, berkendara angin, bertemankan sepi. Sepoy angin berhembus, kesejukan yang menusuk. Semesta berbisik, oh Bandungku, ah sudahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline