Lihat ke Halaman Asli

Catatan Seorang Gibol

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memori saya yang paling awal tentang sepakbola adalah ketika menyaksikan siaran langsung semifinal Piala Dunia tahun 1986 di Mexico. Saat itu kakek saya yang memang penggemar olahraga sepakbola mengajak anak dan cucu-cucunya yang laki-laki untuk menonton bersama. Pertandingan berjalan seru antara Jerman vs Perancis dan Argentina vs Belgia. Pertandingan berjalan sangat seru dengan nama-nama seperti Maradona, Platini, Andreas Brehme, Rummeniege, Michelle Preud Homme menjadi bintang dari masing-masing kesebelasan. Selain pertandingannya, yang membuat saya terkesan adalah saat pertandingan kedua berakhir saya membuka pintu keluar dan ternyata hari sudah terang!

Sejak saat itu saya menjadi seorang gibol (gila bola), dengan nama seperti Maradona, Platini, Rummeniege selalu disebut-sebut saat membicarakan sepakbola, bahkan saat main bola pun kami selalu berebut menyamakan diri sebagai idola bola kami. Kakak laki-laki dan sepupu –sepupu saya juga semuanya pencinta bola, klop lah semua.

Sebagai orang Bandung tentu saja Persib adalah klub yang saya dukung paling awal, mungkin pengaruh keluarga juga. Saya ingat betul setiap Persib main maka jalan-jalan sekitar rumah selalu sepi padahal rumah saya dekat pasar yang cukup ramai. Siaran radio RRI menyajikan hiburan yang cukup seru ketika menyiarkan pertandingan Persib. Belakangan saya tahu kalau reporter bola di radio suka melebih-lebihkan keadaan, mereka selalu menggambarkan situasi seru, tegang, dan menegangkan padahal kejadian aslinya biasa saja. Namun hal itu membuat kami makin senang, bahkan setelah siaran langsung di televisi mulai marak kami sengaja menonton televisi tapi dengan mematikan volume dan menggantinya dengan siaran radio…biar tambah seru.

Klub kedua yang saya dukung adalah Manchester United. Saya mendukung mereka karena sepupu saya mengatakan hal bagus tentang klub ini saat kami sama-sama menonton siaran langsung Final Piala FA tahun 1989. Karena melihat sepupu saya yang kagum pada MU akhirnya saya ikut-ikutan mendukung mereka. Sejak saat itu saya menjadi fans MU dan itu berlanjut hingga sekarang setelah 23 tahun. Pertandingan final pertama yang sangat seru itu berakhir dengan skor 3-3, dimana Ian Wright sang legenda Arsenal yang saat itu masih bermain sebagai penyerang Crystal Palace berhasil mencetak dua gol. It was a great game…

Menjadi seorang penggemar sepakbola kawakan membuat pandangan saya tentang sepakbola sedikit berubah. Saya lebih menginginkan pertandingan yang bermutu dibanding hanya melihat tim saya menang.  Saya masih melonjak girang jika Persib atau MU menang, namun jika pertandingan berjalan kurang menarik atau ada hal-hal kontroversial dalam pertandingan meskipun hal itu menguntungkan tim saya maka kepuasan saya berkurang. Saya juga mulai belajar mengagumi tim-tim lain yang memiliki gaya bermain berbeda dan keistimewaan berbeda. Bahkan ketika tahun lalu hampir semua pengamat bicara negatif tentang tim Chelsea yang menjadi juara liga Champions, bagi saya Chelsea juara tetaplah suatu hal yang istimewa dan saya menghormati gaya bermain mereka.

Sepakbola menjadi salah satu bagian dari perjalanan hidup saya. Memori-memori indah seperti saat bergemuruhnya penonton ketika Sutiono mencetak gol kemenangan Persib di final Liga Indonesia pertama, atau ketika saya dan kakak melonjak-lonjak kegirangan saat Solksjaer mencetak gol kemenangan MU di final dramatis lawan Munich, atau saat Van Der Sar menepis tendangan penalty Anelka dan menentukan kemenangan MU, atau saat betapa kagumnya kami pada seorang Ronaldo yang dengan elegan mempecundangi tim Jerman di final Piala Dunia 2002 menjadi bagian dari memori-memori kehidupan saya.

Sebagai penggemar sepakbola yang sudah lama, saya juga sudah melewati fase “fanatisme buta dan gila”. Fase buta dan gila yang saya maksud adalah ketika menganggap tim saya adalah segalanya, tim lain buruk semua, fans tim lain adalah musuh semua sehingga muncullah kata-kata kasar, caci maki terhadap tim lain maupun fans-nya. Seseorang yang masih berlaku seperti itu biasanya adalah fans baru yang masih mengalami euphoria.

Sebagai penggemar sepakbola saya sedih jika melihat bentuk dukungan pada tim kesayangan membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Coba ingat berapa nyawa yang telah hilang di negara kita karena pertandingan sepakbola? Satu orang saja sudah terlalu banyak… Rasanya sulit untuk dimengerti ketika sepakbola yang harusnya indah, dinikmati dengan gembira, sarana perekat keluarga kemudian berubah menjadi petaka. Sungguh perbuatan yang idiot jika seorang yang mengaku penggemar bola sampai merusak, menganiaya, hingga membunuh manusia karena sepakbola.

Saya juga sedih jika sepakbola kemudian dijadikan sarana untuk hal lain diluar sepakbola, politik misalnya. Makanya saya sangat sedih jika melihat kondisi PSSI dan timnas yang sampai saat ini masih karut-marut. Mereka bukan lagi ingin melihat sepakbola yang maju dan indah, yang mereka inginkan hanyalah agendanya masing-masing. Mereka lebih peduli dengan agenda politiknya daripada berpikir bagaimana supaya timnas bisa mengalahkan Malaysia yang sekarang menjadi raja sepakbola baru di Asia Tenggara. Mereka lebih peduli dengan agendanya dibanding memikirkan bagaimana agar tidak ada lagi korban jatuh akibat bentrokan antar supporter. Bagi saya mereka tidak lebih dari seekor hyena yang sanggup menari-nari di atas kematian orang lain.

Meskipun demikian, sepakbola tetaplah sepakbola yang menawarkan hal-hal indah. Memori indah tentang sepakbola akan tetap menjadi bagian dari hidup saya. Dan saya tidak pernah berhenti berharap bahwa sepakbola tetap akan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Sisi olahraga dan bisnis dari sepakbola sedemikian besar untuk bisa dimanfaatkan. Sebuah bangsa bisa menjadi besar dan terpandang melalui sepakbola walaupun negaranya biasa saja. Tengoklah Pantai Gading, Kamerun, Mexico, yang berusaha mengubah nasib bangsanya melalui sepakbola. Duta-duta sepakbola mereka menjadi katalis bagi para pemudanya untuk mengikuti jejak mereka. Secara otomatis, sepakbola menjauhkan pemudanya dari kehidupan jalanan penuh narkoba, perang antar geng, dan kesia-siaan lainnya. Sepakbola bisa menjadi sarana kemajuan bangsa.

Well…inilah catatan saya sebagai seorang penggemar bola. Meskipun saat ini frekuensi nonton bola saya sudah jauh berkurang karena tanggungjawab pada pekerjaan dan keluarga, namun sepakbola tetaplah bagian hidup saya meskipun hanya dari sisi seorang penggemar. The beauty of football will still remain in my heart and my life. Bagaimana dengan anda?...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline