Lihat ke Halaman Asli

Ketika Agama Jadi Sumber Petaka Manusia

Diperbarui: 21 Juli 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Miris rasanya menyaksikan pemberitaan terkoyaknya kerukunan antar umat beragama di Tolikara, Papua baru-baru ini. Terlepas apa sesungguhnya akar persoalan yang memicu kasus tersebut, sulit dimengerti mengapa orang beragama melakukan perbuatan (kekerasan dan perusakan) yang justru dilarang/diharamkan oleh agama bersangkutan?

Agama seharusnya men-damai-kan
Ada dua teori tentang asal-usul agama. Pertama, agama diturunkan atau diwahyukan oleh Tuhan (terserah apa pun sebutannya) kepada manusia. Kedua, agama adalah produk (evolusi) budaya manusia sendiri. Apa pun teori yang kita anut, satu hal yang pasti, tujuan hadirnya agama adalah untuk membuat umat manusia hidup (dan mati) dalam kedamaian.

Agar tumbuh rasa damai dan kedamaian di dalam masyarakat manusia itulah semua agama mengajarkan moral yang, mau diakui atau tidak, kurang lebih sama. Setiap agama mendorong manusia melakukan kebaikan: cinta dan kasih sayang (bukan hanya untuk sesama manusia tetapi juga makhluk hidup lain), tolong menolong, dan berbakti kepada orang tua. Untuk menumbuh-kembangkan sifat-sifat baik itulah semua agama menganjurkan manusia untuk selalu bersyukur, memuji dan menyembah Tuhan.

Sebaliknya, semua agama melarang dan mengharamkan pembunuhan, penyiksaan, perzinahan, pencurian, penipuan (berbohong), perjudian, dan mabuk-mabukan. Untuk mempertebal tembok pemisah manusia dengan perbuatan dosa itu maka semua agama menganjurkan agar manusia menjauhkan kemarahan, dendam, kebencian, kecemburuan/iri, keserakahan, dan nafsu-nafsu rendahan.

Jika itu fungsi agama, maka pertanyaannya, mengapa kejahatan oleh umat beragama masih terjadi? Bahkan banyak pembunuhan, penyiksaan, perusakan, perampasan, dan perkosaan yang dilakukan untuk dan atas nama agama? Kodrat manusia. Itulah jawabannya.

 

Kodrat makhluk berakal
Manusia adalah makhluk yang selain memiliki naluri juga memiliki akal. Naluri adalah segala dorongan (ber)perilaku yang bersifat bawaan (innate, biologis). Makan, minum, kawin, agonistik/agresif, merawat anak, merawat tubuh, dan mengelompok adalah contohnya. Sementara akal adalah piranti yang menjadi pengatur perilaku yang bersifat kompleks. Belajar, meniru, merencana(kan) adalah contoh perilaku produk akal.

Binatang adalah kelompok makhluk biologis yang perilakunya lebih banyak didorong oleh naluri. Karena hanya bersumber pada naluri perilaku binatang bersifat konsisten dan predictable. Sementara manusia perilakunya bersumber pada naluri dan juga (diperkuat) akal. Karena akal bersifat sangat adaptable (versatile, modifiable, convertible, alterable, adjustable, changeable) maka perilaku manusia sangat sulit diprediksi.

Kebutuhan biologis manusia sebenarnya sama dengan kebutuhan biologis binatang. Akan tetapi, karena binatang tidak berakal maka cara memenuhi kebutuhan itu sangat terbatas dan tidak modifiable. Sedangkan manusia, dengan akalnya, cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (biologis, psikologis, dan intelektual) sangat adaptable.

Adaptabilitas cara memenuhi kebutuhan itulah yang membuat manusia bertindak apa saja, termasuk yang diharamkan agama. Menggunakan beragam dalih dan dalil untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilarang agama yang dianutnya, itu pun bagian dari adaptabilitas akal manusia. Itulah kodrat makhluk berakal—manusia.

Boleh jadi agama yang beragam di dunia ini tidak lebih dari sekedar manifestasi adaptabilitas akal manusia pula. Jika demikian maka Emile Durkheim benar, bahwa agama berasal dari, oleh, dan untuk manusia sendiri; agama hanyalah produk budaya.
E.O. Wilson, entomologist yang terkenal dengan Teori Sosiobiologinya, menyatakan bahwa budaya pada manusia adalah alat (strategi) survival. So, jika agama produk budaya maka agama hanyalah alat survival bagi para penganutnya. Sepanjang agama dianut dan dilaksanakan sebagai alat survival, maka agama atau agama-agama tidak akan pernah memberikan kedamaian di bumi ini.

Salam Kompasiana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline