Lihat ke Halaman Asli

Hebatnya Cuci Otak: Korban Tak Merasa Telah Tercuci

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Menarik juga menyimak beberapa artikel perihal pengakuan (baca:promosi) beberapa simpatisan dan/atau kader PKS di Kompasiana ini. Pada intinya mereka ingin mengatakan bahwa mereka bukan korban cuci otak, indoktrinasi, propaganda, atau pun persuasi. Melainkan karena terbukanya kesadaran mereka akan kebenaran setelah bergaul dengan para murobi PKS.

Terus terang saja, statement itu sangat menggelikan. Menggelikan, sebab bukan cuci otak, indoktrinasi, propaganda, atau pun persuasi namanya jika korbannya menyadari bahwa dirinya adalah “korban”. Di sinilah letak kehebatan program cuci otak.

Di sini akan saya paparkan salah satu Criteria Program Cuci Otak menurut Margaret Thaler Singer (2003).  Menurut Singer, ada 6 kondisi yang diciptakan oleh perancang program cuci otak, 3 diantaranya yang paling awal adalah:

1.Buat target (korban) tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan tidak menyadari bahwa dia sedang mengalami perubahan. Pada tahap ini para target disuguhi segala sesuatu yang tampak wajar, umum, dan alamiah. Dengan begitu si korban tidak merasa bahwa dirinya sedang digiring, diarahkan, pada tujuan (misi) tertentu. Misi (jika memang perlu secara eksplisit) baru boleh diketahui oleh si target di tahap-tahap akhir rekrutmen, ketika korban dipastikan sudah undercontrol.

Pada tahap ini bukan arahan (lisan atau tertulis) yang dikembangkan, melainkan role model yang diperankan oleh para senior. Contoh sederhana, soal warna pakaian. Semua anggota (senior) mengenakan peci dan baju koko putih saat berdiskusi di mesjid, mereka tidak akan memberi alasan “mengapa” harus begitu kepada si “novice”. Si novice lah yang pada akhirnya akan merasa risih jika tampak berbeda dengan yang lain, sehingga perlahan-lahan mengubah kebiasaan dirinya sendiri.

2.Pantau (dan kendalikan) lingkungan fisik dan sosial, terutama penggunaan waktu si target. Caranya, tidak perlu ada mata-mata atau utusan yang mengunjungi si targetdi tempat tinggalnya, melainkan dengan memberi tugas-tugas khusus yang harus diselesaikan si target dalam waktu tertentu. Misalnya menghafal ayat kitab suci sebanyak x ayat  selama y jam  atau z hari. Atau, meminta si target menjalani ritual tertentu pada pagi, siang, sore, atau malam hari. Diluar itu, tentu saja, jadwal pertemuan/ pengajian/ pelatihan/briefing sudah menanti si target. So, dengan begitu si target tak punya lagi waktu “luang”.

3.Secara sistematis timbulkan kesan ke-takberdaya-an pada si target. Caranya dengan mengondisikan si target agar tidak punya kesempatan mengembangkan daya kemandiriannya. Contohnya, seorang novice yang prospektif akan melakukan studi lanjut ke luar negeri. Si novice dibekali surat “sakti” . Dia akan dibantu oleh komunitasnya mulai dari pengurusan paspor, visa, hingga tiket (bila perlu), penjemputan di bandara negeri tujuan, mencarikan tempat tinggal, hingga  hal-hal kecil sekali pun. Dengan cara begitu si novice akan merasa terutang budi sangat besar pada komunitasnya. Tetapi di sisi lain dia tidak menyadari bahwa dengan cara itu dia telah dikebiri dari kemampuan melakukan perjalanan ke luar negeri secara mandiri.

Salam Kompasiana.

Sumber bacaan:

Singer, MT. 2003. The Process of Brainwashing, Psychological Coercion, and Thought Reform.  Blackwell Publishing 2003.147-159.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline