Lihat ke Halaman Asli

Rhoma Irama Capres, Emang Masalah (Buat Lo)?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Luar biasa tanggapan masyarakat terhadap rumor dimintanya Rhoma Irama menjadi calon presiden (capres) tahun 2014 oleh para pendukungnya di Jawa Timur. Di Kompasiana, aspirasi para pendukung Si Raja Dangdut itu disambut sinis.

Sikap sinis yang bernada menolak pencalonan Rhoma umumnya didasarkan pada tiga hal:


  • Latar belakang Rhoma Irama sebagai penyanyi dangdut dinilai tidak capable untuk menduduki jabatan orang nomor satu di republic ini.
  • Sosok Rhoma sebagai pelaku poligami (istilah kasar: tukang kawin) dinilai tidak pantas jadi panutan rakyat, karena itu tidak pantas jadi pemimpin.
  • Keberpihakan Rhoma pada Foke-Nara dalam pilgub DKI dimana dia sempat terlibat kampanye bernuansa SARA-is menyebabkan yang bersangkutan dinilai rasis, sehingga dipandang tidak pantas menjadi pemimpin bangsa yang majemuk ini.

Jika kriteria sosok pribadi ideal (pengetahuan, kecakapan, dan moral) sudah dijadikan bahan pertimbangan oleh masyarakat dalam menentukan calon pemimpin, seperti yang berlaku di Amerika Serikat misalnya, maka peluang Rhoma Irama sangatlah kecil. Sebab, tiga aspek ukuran kualitas kepribadian di atas sudah cukup menjadi penghalang yang bersangkutan untuk lolos sebagai calon sekali pun.

Masalahnya, berapa persen masyarakat di republic ini yang menentukan pilihannya berdasarkan pada kapabilitas dan integritas calon? Fakta menunjukkan, di beberapa daerah ada calon kepala daerah yang jelas-jelas sedang terlibat perkara hukum, toh berhasil menang dalam pilkada. Apa artinya, masyarakat sama sekali tidak menjadikan moral sebagai bahan pertimbangan memilih pemimpin.

Jika calon pemimpin yang kecacatan moralnya begitu kentara saja masyarakat tutup mata, bagaimana dengan Rhoma Irama yang track recordnya belum pernah terbukti bersalah secara hukum dan/atau agama?

Lalu, soal kapabalitas. Apakah karena dia seorang penyanyi dangdut (sering dianggap sebagai music kampungan) serta merta Rhoma Irama tidak memiliki kapabilitas menjadi pemimpin negara?Terlalu naïf rasanya menerima argumen tersebut. Ini sama artinya mengatakan bahwa para artis (seniman) tidak capable jadi pemimpin.

Jangan lupa, di Indonesia ini apa yang mustahil menurut logika politik dan moral semua menjadi mungkin. Sebab, sebagian besar masyarakat di negeri ini bukan menggunakan logika, melainkan emosi, ketika berpartisipasi dan/atau menggunakan hak-hak politik.

Jadi, gagasan parpol dan/atau penggemar Rhoma Irama mengusungSi Raja Dangdut tersebut untuk bertarung dalam pilpres 2014, tidak bisa dipandang sebagai gagasan ngawur atau irasional. Ketidakrasionalan masyarakat pemilihlah sebenarnya yang sedang dicoba untuk dieksploitasi oleh pencetus gagasan tersebut secara cerdas.

Bukan mustahil jika kelak yang maju bertarung dalam pilpres 2014 adalah tokoh politik yang itu-itu saja yang track recordnya tidak terlalu baik di mata masyarakat, justru tokoh-tokoh popular macam Rhoma Irama yang akan menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline