Lihat ke Halaman Asli

Percaya Klenik, Jokowi Bawa Meja dan Dipan ke Jakarta (?)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tindakan gubernur DKI terpilih Jokowi yang menolak “pesta” pelantikan yang mewah dengan alasan demi penghematan patut diacungi jempol. Di tengah kondisi masyarakat yang masih terpuruk dalam banyak aspek kehidupan seperti sekarang ini, gaya hidup boros memang tidak patut dipertontonkan.

Anehnya, meski alasan menolak pesta pelantikan mewah adalah demi penghematan, alasan serupa sepertinya tidak dia berlakukan untuk meja kerja dan tempat tidurnya. Bagaimana bisa disebut menghemat jika untuk benda-benda—yang  di rumah dinas gubernur DKI Jakarta pasti disediakan—itu  dia justru nekat membawa sendiri. Boleh jadi harga kedua benda itu di Jakarta jauh lebih murah ketimbang ongkos truknya dari Solo ke Jakarta.

Jika tindakan itu jauh dari prinsip-prinsip  berhemat, mengapa dilakukan oleh Jokowi  yang justru gencar berkampanye  dan mencitrakan diri sebagai sosok yang penuh kesederhanaan? Ada dua kemungkinan jawabannya.

Pertama, seperti  pengakuan yang bersangkutan kepada media, karena kedua benda tersebut menyimpan “kenangan”.  Alasan ini,  meski tidak aneh tetapi kurang logis.

Dikatakan tidak aneh, sebab nilai kenangan suatu benda bagi seseorang sulit diukur dengan ukuran materi.  Itu sebabnya benda-benda seperti itu harganya kadang tidak masuk akal dan cara pemiliknya memperlakukan benda-benda seperti itu juga kadang sulit dipahami dengan akal sehat.

Mengingat benda penuh kenangan di mata pemiliknya nyaris yang tak ternilai, maka benda-benda seperti itu biasanya diperlakukan sedemikian rupa: dipastikan keamanannya, dijaga kebersihannya, dan dijaga keasliannya. Itu sebabnya benda-benda seperti itu disimpan, dirawat, tetapi  jarang atau bahkan  tidak pernah (lagi) digunakan.

Jadi, sutau keanehan jika  ada orang yang mengklaim menghargai  suatu barang  karena nilai historisnya justru akan menggunkannya dalam aktivitas sehari-hari.  Aneh pula  rasanya, jika Jokowi  menganggap meja kerja dan tempat tidurnya di Solo yang  penuh kenangan itu alih-alih menyimpan dan mengamankannya di rumah pribadi/keluarga tetapi justru akan “mengeksploitasinya” di rumah dinas gubernur Jakarta.

Karena alasan eknomis dan historis yang digunakan Jokowi memboyong meja kerja  dan tempat tidur ke Jakarta  sulit diterima akal, maka ada satu alasan yang paling logis atas tindakan tersebut yaitu: KLENIK.

Meskipun cukup terdidik (insinyur), boleh jadi Jokowi adalah pemercaya mitos dan  tahayul, pengguna dan praktisi ilmu perdukunan dan klenik. Hanya ini (kllenik) penjelasan logis mengapa tokoh yang sukses meraih simpati public berkat citranya yang merakyat, pro wong cilik, dan hidup sederhana rela repot-repot memboyong meja kerja dan tempat tidur dari Solo ke Jakarta.

Boleh jadi meja kerja dan tempat tidur itu diyakininya sebagai pembawa hoki.  Atau, boleh jadi meja kerja dan tempat tidur itu adalah objek yang dijadikan media praktik klenik tertentu yang diyakininya membawanya sukses merintis karir.  Jika benar demikian,  maka tindakannya memboyong meja dan tempat tidur dari Solo ke Jakarta itu adalah bagian dari ritual (kewajiban) klenik yang harus dijalaninya.

Apa salahnya seorang pemimpin percaya, mempraktikkan, atau menjadi pelanggan klenik/perdukunan? Secara personal (diri yang bersangkutan) sepertinya tidak ada salahnya.

Tetapi dengan asumsi bahwa elmu klenik adalah sesuatu yang efektif, sebagaimana diyakini oleh  kebanyakan masyarakat kita, maka sesungguhnya masyrakat sudah tertipu.  Sebab, keseuksesan seseorang, entah dalam bisnis atau politik, bukan disebabkan kecakapan alamiah orang bersangkutan tetapi lebih karena X-factor.

Selanjutnya, dengan asumsi (ilmiah) bahwa semua tahayul, mitos, dan praktik klenik adalah sesuatu yang absurd, maka penyerahan kekuasaan politik kepada sosok yang percaya/pengguna klenik adalah sebuah kekonyolan.

Betapa tidak konyol, bayangkan jika untuk membuat kebijakan pembangunan seorang kepala daerah lebih suka  mendengarkan bisikan dukun ketimbang para pakar dibidangnya. Atau, seorang kepala daerah ujug-ujug membuat keputusan hanya karena merasa mendapat wangsit dari mimpi, dari hewan piaraan, atau dari benda-benda tertentu yang dikramatkannnya.

Semoga saja, alasan Jokowi memboyong meja kerja dan tempat tidur ke Jakarta benar-benar murni karena alasan historis yang sentimental-penuh kenangan.

Semoga pula kenangan itu dapat memicu semangat sukses memimpin DKI Jakarta.  Bukan justru membuat yang bersangkutan puas dan bangga mengenang suksesnya menjadi walikota Solo bersama meja kerja dan tempat tidur tersebut.

Mas Jokowi, selamat mengikuti pelantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline