Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kuburan, Apa Salahnya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam perspektif antropologi banyak pertanyaan tentang kuburan, penguburan, pekuburan, dan/atau beragam hal yang terkait dengan itu semua. Misalnya:


  • Mengapa ada masyarakat yang memiliki tradisi penguburan mayat, mengapa ada yang tidak?
  • Mana yang lebih maju peradabannya, masyarakat yang mentradisikan penguburan mayat atau yang tidak?
  • Jika penguburan mayat adalah produk budaya, sejak kapan, dimana, oleh siapa tradisi itu dimulai?
  • Jika penguburan mayat adalah perintah Tuhan, mengapa Tuhan melakukannya dan untuk apa?
  • Mengapa antara satu kelompok agama dengan agama lain, antara satu sekte dengan sekte lainnya, tata cara penguburan mayat berbeda-beda?

Bisa atau tidaknya kelima pertanyaan tersebut dijawab, ada atau tidak jawabannya, silakan para ahli yang berkompeten menjelaskannya. Di sini saya hanya ingin menyampaikan beberapa fakta yang tidak bisa disangkal tentang kuburan beserta aspek-aspek yang terkait dengannya. Fakta tersebut adalah:

Kuburan sebagai sumber belajar

Dari mana para ahli paleoantropologi mengetahui bahwa budaya manusia berevolusi? Bahwa nenek moyang manusia menggunakan beragam benda sederhana untuk senjata: tulang, batu, perunggu, lalu besi? Jawabannya, dari kuburan.

Dari mana pula para antropologiwan mengetahui nama dan silsilah raja-raja Mesir Kuno? Jawabanya, dari kuburan. Kuburan yang tersimpan rapih di bawah batuan pyramidlah, antara lain, sumber rujukan mereka untuk mendeskripsikan beragam aspek tentang kehidupan jasad-jasad yang sudah mengering yang disebut mumi itu.

Di Indonesia sendiri berkembang keyakinan bahwa Islam menyebar di bumi nusantara ini, khususnya di Pulau jawa, berkat jasa para wali yang kelembagaannya disebut Wali Songo. Dari mana ahli sejarah mengetahuinya? Jawabannya juga dari kuburan. Yaitu berdasarkan tulisan-tulisan yang terpahat di batu-batu nisan kuburan orang yang disebut wali tersebut.

Kuburan sebagai sumber ekonomi

Masih ingat peristiwa kerusuhan di Koja, Jakarta Utara, pada bulan April 2010 lalu? Apa pemicunya? Kuburan! Kuburan Mbah Priok. Terjadi kerusuhan karena ada pihak yang ingin menggusur kuburan tersebut (Pemda DKI), tetapi di lain pihak ada kelompok (yang mengklaim ahli waris Mbah Priok) ingin mempertahankannya. Mengapa dipertahankan? Karena kuburan itu telah dijadikan tujuan ‘wisata religi’ oleh masyarakat. Jika satu objek jadi tujuan wisata, maka ia menjadi sumber penghasilan.

Selanjutnya, kita juga sering mendengar adanya isu korupsi oleh aparat Dinas Pemakaman di Jakarta. Apa pula motifnya? Tentu karena  ingin mengeruk untung dengan cara enteng dari (persoalan) kuburan.

Juga sudah menjadi pengetahuan umum bahwa menjelang bulan suci Ramadhan banyak berkeliaran para pendoa komersil di kompleks-komplek pemakaman. Untuk apa? Ya, cari uang (uang jasa berdoa).

Itu baru menyangkut unsur “kreativitas” (sampingan) memanfaatkan kuburan sebagai sumber penghasilan. Tidak sedikit pula yang justru menjadikan “kuburan’ sebagai bisnis resminya: jualan peti mati, batu nisan, kain kafan, karangan bunga, hingga jasa gali lubang. Semua itu bertemali dengan satu hal: kuburan.

Kuburan sebagai sumber inspirasi

Bagi anda yang sudah cukup dewasa di decade 1970-an hingga pertengahan decade 1980-an, tentu masih ingat judi Nalo dan Forkas. Di masa itu ada joke bahwa pada malam hari di kompleks-kompleks kuburan kramat jauh lebih ramai ketimbang di perkampungan. Mengapa? Karena banyak orang mengunjungi dan bahkan menginap di kuburan untuk mencari “wangsit”(isyarat) tentang nomor (lotere) yang akan keluar.

Bahkan di masa sekarang di Jawa tengaTengah ada gunung yang disebut Gunung Kemukus yang pada hari-hari tertentu ramai dikunjungi orang untuk “ngalap berkah” dengan cara melakukan ritual unik bersenggama di alam bebas dengan lawan jenis yang bukan suami/istri sah sebanyak 7 kali berturut-turut. Mengapa? Karena disitu ada kuburan yang bisa memberi berkah, yaitu kuburan Pangeran Samudra. Konon berkah hanya akan diperoleh jika si “pengalap berkah” itu bersedia melakukan ritual unik tersebut.

Kuburan sebagai symbol gengsi

Kalu kita pergi ke tanah Karo  di sana kita akan menjumpai fenomena yang tak kalah menarik. Di situ makam leluhur keluargta dibangun semegah mungkin di tanah keluarga yang terletak (umumnya) di pinggir jalan utama. Tidak jarang bangunan makam jauh lebih megah ketimbang bangunan rumah penduduk di sekitar makam tersebut.

Alasan yang acap digunakan untuk membenarkan fenomena membangun makam yang megah itu adalah demi menghormati leluhur. Tetapi dalam prespektif social kemegahan makam leluhur adalah ciri/tanda bahwa keturunan (anak-cucu) si mendiang adalah orang-orang sudah sukses.

Belum lama ini kita disuguhi pula sebuah trend dimana orang-orang berstatus social tinggi di Jakarta ketika wafat ramai-ramai “memesan” atau dijatahi lahan kubur di Pemakaman mewah bernama San Diego Hill di kawasan Karawang.

Apa sih bedanya berkubur di Tanah Kusir dengan berkubur di San Diego Hill dalam prspektif si mendiang (jenazah)? Entahlah. Yang pasti keluarga yang ditinggalkan sedikit terangkat gensinya bahwa kakek, ayah, ibu atau kerabatnya dikuburkan di tempat mewah.

Kuburan sebagai sumber pertengkaran

Fenomena ini biasanya berkaitan dengan berbagai ritual penguburan: sebelum, ketika, atau sesudah pelaksanaan penguburan. Misalnya, apakah saat keranda jenazah akan diberangkatkan anggota keluarga yang ditinggalkan perlu melintas di bawah kerandanya atau tidak? Apakah saat memulai langkah mengusung keranda itu perlu membaca surat atau ayat Al Quran atau tidak.

Saat akan memasukkan mayat ke liang lahat, perlu dikumandangkan azan atau tidak. Setelah itu, masih ada lagi sumber pertengkaran apakah keluarga si mendiang perlu mengadakan tahlilan atau tidak. Jika harus tahlilan, berapa hari, berapa kali acara tersebut pertlu dilakukan.

Lalu, ini baru saja ramai “diperttengkarkan” di Kompasiana, apakah ziarah kubur itu sesuai tuntutan Rasul (sunnah) atau bid’ah.

Penutup

Pendek kata, kuburan adalah sesuatu yang serba bisa: bisa menjadi sumber belajar, bisa menjadi sumber inspirasi, bisa menjadi sumber rejeki, bisa menjadi symbol pengangkat gengsi,  dan bisa pula menjadi penyebar rasa benci. Tinggal kita mau pilih argumen yang mana ketika harus bersikap tentang kuburan.

Salam Kompasiana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline