Berbagai media elektronik, termasuk diantaranya BBC News, hari ini memberitakan kasus penangkapan Alexander An, seorang Calon PNS di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dharmasraya Sumatra Barat, atas tuduhan menimbulkan keresahan dengan menyebarkan paham atheisme lewat jejaring social Face Book.
Kapolres Dharmasraya AKBP Choirul Azis merujuk KUHP dan UU ITE sebagai dasar hukummenjerat tersangka.KUHP pasal 156 A menyatakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun dst... Sedangkan UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang menyebarkan penghinaan lewat dokumen elektronik. Penggunaan kedua UU itu memungkinkan tersangka dihukum 5 tahun penjara.
Yang menarik saat diinterogasi polisi yang bersangkutan dengan tegas menolak agama dan menyangkal keberadaan tuhan, tetapi di KTP yang dia gunakan sebagai dokumen persyaratan melamar CPNS jelas tercantum agamanya Islam.
Di sinilah terlihat adanya dilemma antara “hak” dan “kewajiban” seorang warganegara. Memilih keyakinan apapun bentuknya sejatinya adalah hak. Tetapi, mematuhi norma hukum yang berlaku, dimana di Indonesia dasarnya adalah Pancasila, UUD 1945, UU, Perpu dan seterusnya, adalah kewajiban seorang warga negara.
Persoalan menjadi pelik ketika seseorang dihadapkan pada system birokrasi yang “memaksa”, dimana dia harus mengisi kolom agama pada dokumen ID legalnya sementara yang bersangkutan tidak mengakuinya.
Jika sudah demikian mana yang harus dikedepankan: hak atau kewajiban? Mungkin akan ada yang menjawab, kedua-duanya. Hak dan kewajiban harus dilaksanakan berimbang.
Itu benar jika yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu jelas parameternya. Misalnya seorang karyawan berhak mendapat upah setelah yang bersangkutan melaksanakan kewajiban-kewajibannya: rajin masuk kerja, semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu dsb.
Persoalannnya, ketika menyangkut keyakinan, parameter keduanya menjadi tidak terukur. Seorang boleh saja berpenampilan seperti seorang penganut agama paling sholeh dan menuliskan nama agama tertentu di kartu namanya (karena diwajibkan) tetapi apakah hati yang bersangkut benar-benar yakin dan mengakuinya. Bukan perkara mudah mengukurnya.
Terkait dengan kewajiban/keharusan waga negara mencantumkan identitas agama di dokumen sipil agaknya sulit diperdebatkan di republic ini. Di dalamnya terkait beragam aspek historis, sosio-cultural, politik, bahkan ekonomi.
Namun demikian, mengacu kasus Alexander An di atas jelaslah ada pelajaran berharga bagi siapa pun yang berkeyakinan melawan arus. Jangan abaikan norma umum dimana sudah jelas ada landasan hukum yang mengaturnya.
Silakan memiliki keyakinan berbeda: mau atheist, agnostic, skeptic atau apa pun namanya, yang penting jangan menghina keyakinan orang lain (Tuhannya, kitab sucinya, nabinya, atau ritualnya) dengan cara apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H