Sebagaimana telah diberitakan oleh berbagai media on line, ada peristiwa nyata tetapi terasa ganjil terjadi di Istana Merdeka sesaat setelah Presiden SBY melantik Albert Hasibuan sebagai anggota Wantimpres Selasa 10 Januari 2011. Yakni ambruk dan pecahnya meja marmer yang baru saja digunakan untuk penandatanganan surat pelantikan tanpa sebab-sebab yang jelas.
Bagi kaum rasional, kejadian tersebut tentulah hanya kejadian biasa, dan pasti ada sesuatu secara fisik yang dapat menjelaskan fenomena itu. Tetapi, sejauh yang dapat disimak dari pemberitaan tentang peristiwa itu, penyebabnya tidak diketahui. Ambruknya secara tiba-tiba, terjadi begitu saja.
Jika tidak ada kondisi alamiah yang dapat memicu ambruk dan pecahnya meja tersebut, maka pertanyaannya: Kok bisa? Pertanyaan inilah yang membuat saya penasaran sehingga saya (Knd) terbawa ke alam antah berantah dan berjumpa dengan arwah penunggu meja marmer (Arm) yang pecah itu sehingga terjadilah dialog imajiner ini.
Knd: Arm, apa sesungguhnya yang terjadi dengan meja marmer di Istana Merdeka kemarin?
Arm: Oh, itu adalah eksprresi kekecewaan ku dan itu bentuk teguran ku yang paling keras kepada preisden mu yang sekarang.
Knd: Kekecewaan? Kekecewaan terhadap apa?
Arw: Selama bertahun tahun aku bangga bersemayam di meja itu, menyaksikan ritual penandatanganan pelantikan pejabat negara mu: menteri negara, para panglima angkatan, atau para duta besar. Semua pejabat itu memang duduk di jabatan yang mulia dan jelas pekerjaannya, yakni untuk negara dan rakyat.
Knd: Sekarang juga masih seperti itu!
Arm: Sangatberbeda. Sekarang ini meja itu sering digunakan untuk menandatangani pelantikan pejabat-pejabat yang tidak jelas pekerjaannya. Bahkan ada yang dibentuk dan diangkat semata-mata untuk mengabdi kepentingan diri presiden saja. Apa sih kerjaan wantimpres? Apa pula itu kerjaan berbagai satgas?
Knd: Lho, itu kan dibolehkan undang undang.
Arm: Undang-undang?Kalo tidak jelas manfaatnya bagi rakyat, jangankan pelaksanaannya, undang-undangnya saja boleh diganti. Gitu aja kok repot!
Knd: Jadi, karena itu kau ngambek dan menegurnya. Tapi mengapa dengan cara yang ganjil seperti itu?
Arm: Teguran logis halus hingga yang kasar, dalam bentuk suara keprihatinan, demo-demo sampai dengan targedi kemanusiaan di republik mu ini sudah over dosis bukan? Apa yang telah dilakukan presiden mu?
Knd: Kalo teguran kasar yang nyata dan konkrit itu tidak digubris, apa lagi teguran yang abstrak seperti yang kau lakukan. Apa manfaatnya tindakan mu memecahkan meja mahal itu, kan sia-saia saja.
Arm: Eit…nanti dulu. Masih ingat ketika presiden mu sewot waktu dikritik oleh tokoh-tokoh lintas agama dengan istilah Sembilan Kebohongan SBY? Mengapa menurut mu dia marah?
Knd: Ya karena isi kritikan itu terkesan mengada-ada.
Arm: Salah! Soalisinya dia gak terlalu risau kok, karena banyak benarnya. Tapi soal angka 9 itu lho!Presiden mu itu kan lahir pada tanggal 9 September (bulan ke-9) tahun 1949. Diajuga pembina partai yang bernomor 9. Dia responsif terhadap kritikan itu karena symbol sakral yang diyakini membawa hoki itu dijadikan bahan olok-olok.
Knd: Hmmm…
Arm: Coba saja lihat sekarang ini. Dimana dan apa sikap presiden mu terhadap kasus orang jahit mulut, kasus vonis pencuri sandal, kasus pencuri pisang, atau penembakan pekerja di Aceh?
Knd: Apa hubungannya dengan teguran mu?
Arm: Begini. Karena presiden mu relative kebal dan bebal terhadap kejadian-kejadian konkrit di depan mata, tetapi responsive dan percaya pada hal-hal yang berbau klenik, maka aku berpikir mungkin teguran ku yang dipandang gaib ini dapat lebih menyadarkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H