Lihat ke Halaman Asli

Manusia Bukan Khalifah Tapi Kanker bagi Bumi

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menganggap diri kita lebih cerdas dibandingkan dengan makhluk biologis lain, kita lalu merasa pantas menyebut diri kita sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah, secara bebas, dapat dimaknai sebagai pemimpin, pengarah, pemandu, peñata, atau penyelaras.

Pertanyaannya: pemimpin, pengarah, pemandu bagi apa/siapa? Apa pula yang perlu ditata dan diselaraskan itu? Apakah sebelum manusia hadir di bumi, planet biru ini dalam keadaan chaos? Ah..entahlah!

Hanya komponen kecil biosfera
Ekslusifkah makhluk bernama -Latin Homo sapiens ini di planet bumi? Sama sekali tidak! Kita terbentuk, tumbuh, berkembang, bereproduksi, beradaptasi, dan akhirnya kembali terurai menjadi bahan dasar di bumi ini pula. Ketika menjalani fungsi dan sifat hidup itu (makan, minum, bernafas, dan bereproduksi) kita hanyalah komponen kecil di dalam biosfera dan hanya menempati satu mata rantai (peran) di dalam ekosistem.

Sebagai komponen biosfera, manusia berbagi air, tanah, dan udara yang sama dengan makhluk hidup lainnya : mikroba, hewan, dan tumbuhan. Molekul air (H2O) contohnya, hanya berpindah dari tanah dan perairan (sungai, danau dan laut) ke tubuh makhluk hidup, lalu menguap ke angkasa, kembali ke tanah dan perairan, lalu berulang masuk ke tubuh makhluk hidup, menguap lagi, dan mencair kembali. Begitu seterusnya.

Boleh jadi molekul air yang detik ini kita minum, sehari kemudian berpindah ke tubuh seekor nyamuk atau terserap oleh pori-pori kulit cacing tanah. Seminggu kemudian air tadi sudah menjadi bagian batang dan daun kangkung sehingga sebulan kemudian berpindah ke tubuh manusia lain dan seterus-dan sterusnya. Tidak ada satu pun makhluk hidup di bumi ini yang bisa melepaskan diri dari “takdir” siklus molekul air ini. Keterikatan seperti itu berlaku pula untuk molekul-molekul lain yang terdapat di tanah dan udara.

Hanya mata rantai ekosistem
Silahkan kita merasa eksklusif jika dengan kecerdasan kita mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada makhluk lain. Kenyataan menunjukkan, meskipun mampu merambah bulan dengan pesawat ulang-alik, mampu “memperkecil” muka bumi dengan IT, manusia tetap belum (atau tak kan pernah) mampu membuat bahan makanan dari bahan-bahan non organic (bukan berasal dari makhluk hidup).

Jadi, dalam konteks ekosistem ini manusia terikat pada sistem pertemalian (pasti) dengan makhluk biologis lain dalam satu jalinan yang disebut rantai dan/atau jejaring makanan. Kita hanya dan hanya bisa eksis jika makhluk lain juga eksis. Percayalah, ketika makhluk lain musnah niscaya kita pun tidak akan lagi menyisakan bibit penerus spesies Homo sapiens di muka bumi ini.

Kanker bagi bumi
Kanker adalah sebutan untuk sel-se tubuh yang tadinya normal lalu tumbuh memperbanyak diri secara tak terkendali. Karena tumbuh tak terkendali maka sel-sel kanker tadi menjadi “perampok” (nutrisi) bagi sel-sel tubuh lainnya yang normal. Karena sumber energi untuk tubuh banyak diserap oleh gerombolan sel-sel kanker maka jaringan dan organ tubuh lainnya menjadi collapse.

Analog dengan sel kanker, manusia sejatinya hanyalah komponen biotik bumi, tetapi sifat-sifat kita yang tak pernah terpuaskan bersama kecerdasan yang kita banggakan ini telah menimbulkan banyak kerusakan. Tak ubahnya sel-sel kanker yang membunuh tubuh tempatnya tumbuh, kita telah membuat banyak makhluk lain musnah, menimbulkan polusi yang berdampak pada berubahnya iklim sehingga bumi kini menjadi the dying planet (planet yang sekarat).

Dengan karakter kanker itu, jangankan memimpin dan menata komponen bumi lain, seperti layaknya khalifah, untuk menciptakan keselarasan hidup di dalam masyarakat se spesiesnya saja manusia tidak pernah mampu. Pertengkaran, permusuhan, dan peperangan antar kelompok masyarakat yang kita klaim sebagai makhluk super cerdas ini tak pernah reda. Entah sampai kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline