Lihat ke Halaman Asli

Ulah Para Pembela Tuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suatu hari di bulan suci

Setelah libur awal ramadhan (selama seminggu) berakhir Tarsim dan istrinya, seperti tahun-tahun sebelumnya, mulai bersiap-siap membuka kembali warung baksonya di terminal kota tempatnya tinggal. Sisa uang hasil berjualan yang di kumpulkannya menjelang liburan awal puasa pun dia habiskan untuk modal.

Sekitar pukul 10 pagi, semua perlengkapan makan pelanggan, aneka bumbu penyedap, mie putih dan mie kuning, bola bakso kecil dan besar, beserta beberapa dus minuman ringan dan air kemasan pun sudah tertata rapih.

Sesuai pengalamannya yang sudah memasuki tahun ke sepuluh berjualan di terminal tersebut, dalam bulan puasa biasanya pelanggan baru ramai menjelang tengah hari hingga selepas siang. Terbukti, hari itu pelanggan pertama datang pukul 10.30. Seperginya, pelanggan pertama itu Nyi Imas (istri Tarsim) segera mencuci mangkuk bekas pakai pelanggan.

Sementara itu di sudut belakang lapak yang hanya berukuran 3 x 4 meter tersebut Tarsim bersenda gurau dengan putri semata wayang mereka yang baru berumur 4 tahun, yang selalu mereka ajak saat berjualan. Terdengar jelas oleh Nyi Imas rengekan sang buah hati kepada ayahnya agar tidak lupa membelikannya baju baru untuk lebaran.

“Ya Sayang, nanti pasti ibu belikan” timpal Nyi Imas atas rengekan putrinya itu. “Rajin-rajin saja berdoa agar dagangan kita selalu laris ya Sayang” kata Nyi Imas sambil memeluk dan mengecup kening anaknya dengan lembut.

Tiba-tiba….
Sebuah truk, dua pick up, dan puluhan sepeda motor masuk terminal dan mengerem mendadak menimbulkan bunyi (rem) mencicit. Ratusan orang berpakaian mayoritas putih, berkopiah putih, bersyal hijau-putih, dan di tangan mereka tergenggam tongkat dan pentungan berhamburan, menyebar , dan merangsek ke lapak-lapak penjual makanan dan minium di terminal itu.

Dengan satu kali pekikan ”Allahu Akbar!” yang membahana maka semua lapak tadi, tak terkecuali lapak tarsim dan Istrinya hancur, berantakan, tidak berbentuk lagi. Bahan makanan dan minuman jualan Tarsim yang baru laku satu porsi itu pun habis, berserakan, menyatu dengan tanah lantai lapak.

“Bapak-bapak, apa salah kami?” protes Nyi Imas. “Kami ini rakyat miskin, modal kami cari makan semuanya ada di warung ini Bapak, tolong jangan dihancurkan…” teriak Imas mengharap iba orang-orang yang sedang kalap itu.

“Jangan banyak cingcong kamu Iblis!” bentak salah seorang destroyer itu. “Kamu tahu ini bulan puasa, berjulan makanan seperti ini adalah perilaku iblis, merusak kesucian ibadah ramadhan. Berhenti dulu berjualan di siang hari semala bulan puasa ini, hormati orang-orang berpuasa di bulan suci” lanjut pria besar-tinggi berwajah timur tengah itu dengan kasar.

Nyi Imas tak mampu berkata-kata lagi, berdiri pun dia kesulitan, tubuhnya gemetar, ia hanya mampu menangis, meratap sambil memeluk erat putrinya yang menjerit histeris ketakutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline