Lihat ke Halaman Asli

Ulah DPR: Jika Profesi di Tangan Kasta yang Salah

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sistem sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra) di kalangan umat Hindu sudah lama digugat akibat pemahaman yang salah tentang esensi dan  praktiknya. Pemahaman lama tentang kasta adalah bahwa jika seseorang terlahir dari keluarga ksatria, maka si anak tersebut adalah seorang ksatria. Sebaliknya, jika seorang wanita  sudra melahirkan, maka anaknya adalah sudra. Dengan pemahaman seperti itu jelas tersirat bahwa kasta adalah penggolongan  status sosial.  Sayangnya, dengan pemahaman seperti itu esensi dan fungsi kasta (warna)  tidak empirik  di dalam peradaban manusia dari masa ke masa.

Mengingat fakta sejarah tidak memberi bukti empiris tentang fungsi kasta bagi manusia maka kasta bukanlah golongan status sosial lahir, melainkan golongan (warna) manusia berdasarkan watak/tabiat/(bakat?) yang dibawanya saat lahir. Konsep kasta yang terakhir ini cocok dengan temuan sains tentang gen (faktor pengatur sifat). Jadi, brahmana bukanlah status   orang yang berprofesi/melakoni pekerjaan guru/pendeta/resi/ulama/biksu, melainkan sebutan warna seseorang yang memiliki kepribadian/watak/tabiat sebagaimana layaknyanya seorang guru/resi/pendeta/ulama yang cerdas, tenang, bijak.

Dengan pengertian terakhir ini, maka boleh jadi seorang sudra terlahir dari rahim keluarga ksatria atau brahmana. Sebaliknya seorang brahmana  lahir di dalam keluarga waisya atau sudra. Fakta menujukkan, tidak sedikit keluarga terhormat, terpandang, dan terdidik melahirkan anak yang selalu berbuat onar dengan melakukan berbagai perbuatan tercela.  Sebaliknya, banyak pula keluarga petani (dalam sistem kasta digolongkan waisya) melahirkan putra-putri terbaik bagi masyarakatnya (tingkat desa, kabupaten, provinsi, bahkan negara).

Bagaimana dengan anggota DPR kita? Di lihat dari fungsi lembaganya (legeslasi, anggaran dan kontrol) maka pekerjaan sebagai anggota DPR dapat digolongkan sebagai pekerjaan ksatria. Ksatria  adalah sosok  pribadi yang berkarakter tegas, berani, tanpa pamrih, jujur, dan adil. Apakah ciri-ciri ksatria terlihat pada  anggota-anggota DPR kita? Mungkin ada pada sebagian kecil anggota, tetapi kebanyakan tidak  (setidaknya, itu yang acap muncul). DPR kita lebih banyak dihuni oleh pribadi-pribadi yang lebih cocok  berprofesi pedagang/petani/nelayan (pribadi waisya) atau buruh/kuli/jongos (pribadi sudra).

Itu sebabnnya semua aktivitas dan kontribusi mereka (sebagai anggota DPR yang seharusnya mulia itu) hanya memiliki satu orientasi saja, yakni keuntungan, itu pun semata-mata keuntungan materi/finansial.  Tidak ada kata boleh menjual rugi di dalam kamus pedagang;  tidak ada keringat boleh menetes tanpa upah, di dalam logika kuli. Itulah standar kepuasan manusia berkepribadian pedagang  atau seorang kuli/jongos (kepribadian, bukan profesi, lho).  Tidak mengherankan bila kemudian, kita selalu disuguhi praktik politik uang , tender pasal-pasal RUU, jual beli suara voting, hingga korupsi dalam beragam bentuk dan modusnya oleh anggota parlemen kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline