Lihat ke Halaman Asli

”Tergilahormatkan” Seperti Pejabat Memang Nikmat!

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Membaca pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tentang korupsi nonkonvensional yang banyak dilakukan oleh pejabat publik Indonesia, buat saya sebagai seorang oknum rakyat jelata dari republik tercinta ini, adalah sama sekali bukan fenomena baru. Secara simpel Mahfud MD mengartikan istilah korupsi nonkonvensional tersebut sebagai ”pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi” yang contohnya antara lain sikap ”gila hormat” oknum pejabat yang menginginkan perjalanan dinasnya diikuti satu rombongan besar dan dikawal oleh voorijder bersirine, disertai kewajiban bagi anak-anak sekolah dan masyarakat untuk mengelu-elukan dirinya di sepanjang jalan yang dia lalui.

Omong-omong tentang ritual penyambutan kedatangan rombongan pejabat, saya mempunyai pengalaman menggelikan tentang hal tersebut.

Kira-kira pada awal dekade 90-an, saya pernah diajak oleh bapak saya pergi bersilaturahim ke seorang ustadz di kawasan barat Kabupaten Kebumen. Kami berangkat bersama-sama beberapa orang dengan menumpangi sebuah mobil dinas pelat merah berjenis VW Combi warna biru tua. Singkat cerita, begitu mobil kami berbelok ke ruas jalan yang menghubungkan jalur utama Yogyakarta - Bandung dan Pantai Logending, kami sedikit terkejut karena mendapati di kiri-kanan jalan banyak polisi, pegawai negeri, dan anak sekolah berseragam pramuka yang sebagian mengibas-ibaskan bendera merah putih kecil dan sebagian lagi membawa kentongan bambu. Di antara kami saling bertanya dan menebak kira-kira ada acara apa di daerah tersebut. Mobil kami tetap melaju normal walaupun banyak pasang mata yang sepertinya mengawasi perjalanan kami dengan sangat seksama.

Namun beberapa kilometer kemudian terjadilah peristiwa menggelikan itu. Menyadari mobil yang kami naiki adalah kendaraan dinas berpelat merah, beberapa petugas tiba-tiba terlihat sedikit gugup dan kemudian memberikan semacam isyarat kepada barisan yang berdiri berjajar di sepanjang jalan. Yang terrekam dalam memori saya saat ini adalah teriakan para petugas, ”Uwis teka! Uwis teka!” dan disusul sebuah perintah, ”Tabuh kenthonge! Tabuh kenthonge!” Bisa ditebak, yang selanjutnya terjadi adalah riuh rendah suara pukulan kentongan dan keramaian masyarakat -- yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya -- yang terlihat sangat takjub ketika menyaksikan keberadaan kami.

HAHAHA! Spontan saya dan seisi mobil tertawa tergelak melihat ‘kehebohan’ tersebut. Sambil tetap terkekeh-kekeh, beberapa di antara kami meledek seorang sahabat bapak saya sebagai sosok “pejabat penting” yang dirindukan oleh barisan penyambut itu.

Ah, ternyata betul, memang enak menjadi seorang pejabat di Indonesia. Tatkala ’disambut’, dalam posisi saya sebagai ’anak pejabat’, jujur saja saat itu muncul perasaan ’bangga’ dan ’terhormat’ walaupun tentu saja semua itu hanyalah sesuatu yang semu. Untung saja paska kejadian itu saya tidak mengalami ’post power syndrome’ dan tidak menjadi gila setelahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline