[caption id="attachment_227305" align="aligncenter" width="300" caption="Kuliner belut, duhai lezatnya... Slrrrp... (sumber gambar: makanmakan.com)"][/caption]
Bagi Anda pecinta kuliner sejati, sungguh rugi rasanya bila Anda belum pernah menikmati lezatnya masakan berbahan belut sawah (Monopterus Albus). Namun yang saya maksud di sini adalah, belut yang memang secara alami hidup di sawah-sawah, bukan yang berhabitat di sungai, empang, maupun yang sengaja diternakkan. Si licin yang diameter tubuhnya berkisar antara satu setengah hingga dua sentimeter dan panjangnya lebih kurang 30 sentimeter ini memiliki citarasa daging yang begitu gurih. Jujur saja, seringkali saya berliuran karena terbayang-bayang sedapnya potongan daging belut sawah bercampur irisan cabe hijau yang digoreng agak garing, dinikmati sebagai lauk sarapan dengan sepiring nasi putih panas yang asapnya masih mengepul. Jan, pokoke nyamleng pisan!
Tapi tahukah Anda bahwa di kampung saya, kawasan Banyumas Raya, kini cukup sulit untuk mendapatkan binatang itu? Beberapa orang yang saya temui pun mengiyakan omongan saya tentang hal tersebut. Saya benar-benar merasakan betapa dalam dua atau tiga tahun belakangan ini mencari orang yang bersedia menjual belut sawah tangkapannya sama susahnya dengan mencari penjual ikan uceng, ikan kali berukuran kecil yang konon rasanya paling enak. Bahkan saya sampai meminta tolong saudara-saudara saya untuk mengerahkan segala daya upaya dalam mendapatkan komoditi langka itu, walaupun harganya mungkin naik dua kali lipat.
Lalu kemana perginya belut-belut itu dan mengapa mereka tega meninggalkan kita? Demi memuaskan dahaga keingintahuan saya, maka saya mulai menemui orang-orang yang saya anggap cukup ”kompeten” untuk menjawab pertanyaan tersebut. Para pakar perbelutan kah? Oh, bukan, tapi orang desa dan petani biasa.
Menurut mereka, belut sawah lambat laun menghilang karena habitatnya semakin rusak tercemari pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya. Binatang itu melarikan diri menuju ke sebuah tempat semacam gua bawah tanah untuk berhibernasi ataupun ”merantau” ke sungai dan empang terdekat untuk bertransformasi menjadi belut sungai. Oleh karena itu, selama sawah sebagai habitat asli mereka kondisinya tidak ideal maka bisa jadi si belut akan selamanya bertapa di dalam gua-gua keramat itu atau memilih mencari penghidupan di luar lingkungan aslinya.
Mengutip dari wikipedia.org, disebutkan bahwa secara ekologi, belut dapat dijadikan indikator pencemaran lingkungan karena hewan ini mudah beradaptasi. Lenyapnya belut menandakan kerusakan lingkungan yang sangat parah telah terjadi. Sungguh, krisis ini akan ”berdampak sistemik” untuk para penggemar fanatik belut sawah seandainya tidak dicari pemecahannya dari sekarang.
Yuk, kita ramai-ramai menyelamatkan belut sawah dengan cara mengkonsumsi produk-produk hasil pertanian organik?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H