Di era digital yang dinamis saat ini, tak dapat dipungkiri bahwa media sosial berperan besar dalam memfasilitasi komunikasi dan konektivitas secara global. Namun, kita harus mengakui bahwa media sosial telah mengambil alih kontrol kehidupan sehari-hari kita dengan begitu kuatnya, sehingga pada suatu titik, medis sosial kini pantas kita sebut "Labirin Narkoba Digital".
Istilah ini lahir untuk menyampaikan fenomena dimana penggunaan media sosial seolah menjadikan penggunanya terjerat dalam labirin yang membingungkan dan memengaruhi perilaku serta kesehatan mental pengguna media sosial, akibat kecanduan yang disebabkan oleh dopamin berlebihan yang dirilis otak, dipicu oleh konten dari media sosial itu sendiri. Fenomena ini serupa dengan dampak kecanduan yang ditimbulkan oleh narkoba.
Dengan kata lain, "Labirin Narkoba Digital" melambangkan bagaimana media sosial dan media sosial dapat menciptakan ketergantungan yang kuat dan rumit pada pengguna, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan kontrol diri individu dan kesehatan mental.
Dengan munculnya media sosial, pengguna media sosial dari berbagai lapisan masyarakat dan berbagai kelompok usia, mendapatkan kesempatan untuk membagikan ide, pemikiran, karya seni, hingga momen pribadi mereka kepada audiens yang tidak terhingga jumlahnya. Kebahagiaan dan euforia yang melanda ketika kita menerima likes pada postingan di media sosial telah menjadi hal yang umum (Fernandez, 2022).
Namun, seiring berjalannya waktu, ambisi untuk mendapatkan perhatian atau validasi dari media sosial seringkali berkembang menjadi perilaku kecanduan, yang dapat ditandai dengan pemakaiannya yang berkepanjangan atau kecanduan dapat mengganggu aktivitas sosial lain, seperti pekerjaan, studi, hubungan sosial, kesehatan dan kesejahteraan psikologi.
Hal ini dikarenakan pada dasarnya, media sosial didesain untuk mengikat para penggunanya dalam upaya untuk mendapatkan validasi dalam bentuk likes. Berdasarkan penelitian Hartinah, Siti, Sriati, & Kosasih (2019), pengguna media sosial sering acuh dalam menghabiskan waktu untuk mengakses konten media sosial sehingga waktu terbuang, membuat penggunanya menjadi pemalas akibat interaksi tatap muka yang terjadi hanya melalui handphone.
Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu, kita semakin merasa bahwa setiap kali kita menyentuh gawai atau membuka aplikasi media sosial, kita semakin terperosok lebih dalam ke dalam labirin menyesatkan yang sangat candu. Meskipun kita mungkin menyadari dampak negatif dari penggunaan berlebihan media sosial, kita terus berpaling dan kembali lagi pada lingkaran yang tak berujung dari media sosial, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kesehatan mental. Namun, apa yang membuat pengalaman dalam bermedia sosial ini begitu menarik dan memikat sehingga membuat kita merasa kesulitan untuk melepaskan diri dari jeratan media sosial?
Kita dapat dengan mudahnya menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling media sosial, seperti Instagram dan TikTok. Namun, akan terasa susah untuk menghabiskan waktu dengan durasi yang sama untuk hal-hal produktif -- belajar, meskipun secara logika kita mengetahui bahwa dengan belajar atau melakukan hal produktif lainnya, memberikan kita manfaat jangka panjang. Namun, kita tetap memilih untuk menghabiskan waktu menggulir konten-konten media sosial. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh dopamin.
Dopamin adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh otak kita dan memiliki peran sentral dalam memotivasi terjadinya suatu perilaku. Senyawa ini dilepaskan ketika kita merasakan kenikmatan dari makanan yang lezat, saat kita berhubungan seks, setelah berolahraga, dan, yang tak kalah pentingnya, saat kita berinteraksi positif secara sosial.
Dopamin memberi imbalan atas aktivitas bermanfaat yang telah kita lakukan dan memberi motivasi kepada kita untuk mengulangi aktivitas/perilaku tersebut lagi dan lagi (Haynes, 2018). Dengan kata lain, apabila suatu aktivitas melepaskan sedikit dopamin, maka kita hanya akan mempunyai sedikit motivasi untuk melakukannya.
Sebaliknya, jika suatu aktivitas melepaskan banyak dopamin, maka kita akan termotivasi untuk melakukannya, lagi dan lagi. Ketika kita menerima likes, komentar, atau reaksi positif pada postingan kita, otak kita merespon dengan pelepasan dopamin, yang memberi kita perasaan bahagia dan puas.