Lihat ke Halaman Asli

Ungky

Penulis

Indonesia Kurang Menghargai Alumni IPDN Dibandingkan Akademi Militer dan Kepolisian

Diperbarui: 23 Agustus 2024   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Djonggi M Simorangkir, SH, MH dokumen pribadi.

Jakarta, -- Isu ketidakadilan dalam penempatan posisi strategis di pemerintahan Indonesia kembali mencuat setelah pernyataan keras dari Dr. Djonggi M Simorangkir, SH, MH, seorang pakar hukum dan akademisi terkemuka. Menurutnya, lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sering kali kurang dihargai dibandingkan dengan alumni dari Akademi Militer (Akmil), Akademi Angkatan Udara (AAU), Akademi Angkatan Laut (AAL), dan Akademi Kepolisian (Akpol).

Institut Pemerintahan Dalam Negeri IPDN, dokumen kompas.com

"Negara ini seolah-olah kurang menghargai alumni IPDN, padahal mereka adalah ujung tombak dalam pengelolaan pemerintahan di berbagai level. Namun, realitasnya, lulusan IPDN sering kali tidak mendapatkan akses ke posisi puncak yang seharusnya menjadi hak mereka," ujar Dr. Djonggi M Simorangkir.

Dr. Djonggi menyoroti bahwa posisi-posisi puncak di berbagai sektor pemerintahan lebih banyak diisi oleh alumni akademi militer dan kepolisian. "Lulusan dari akademi-akademi ini, yang sebenarnya berada di bawah level pendidikan tinggi dibandingkan dengan IPDN, selalu dipastikan menduduki posisi puncak. Ini adalah ketidakadilan yang harus segera diperbaiki," tegasnya.

Lebih lanjut, Dr. Djonggi menyatakan bahwa penempatan jabatan strategis di pemerintahan seharusnya didasarkan pada kompetensi dan kualifikasi akademik, bukan semata-mata latar belakang militer atau kepolisian. "Ilmu pemerintahan adalah disiplin yang memerlukan pemahaman mendalam, dan ini hanya bisa didapatkan dari pendidikan tinggi khusus seperti yang diberikan di IPDN. Oleh karena itu, sudah seharusnya para alumni IPDN mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan," ungkapnya.

Dr. Djonggi juga menyerukan evaluasi dan reformasi kebijakan penempatan jabatan di pemerintahan agar lebih inklusif dan adil bagi semua lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. "Pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penempatan jabatan. Ini penting untuk memastikan bahwa semua lulusan pendidikan tinggi, termasuk dari IPDN, mendapatkan kesempatan yang sama dalam berkarier di sektor publik," tuturnya.

Lebih jauh lagi, Dr. Djonggi menekankan bahwa IPDN telah menghasilkan lulusan hingga tingkat doktor (S-3) yang sangat memahami ilmu pemerintahan. "Bahkan IPDN sudah menghasilkan S-3 yang sangat faham ilmu pemerintahan mulai dari pejabat terendah di kelurahan hingga kepala desa yang tidak pegawai negeri, dibantu oleh RT dan RW. Sehingga terdapat pemerintahan yang dapat dikontrol oleh Menteri Dalam Negeri dan memberikan laporan yang sangat akurat kepada Presiden mengenai apa yang terjadi sampai ke akar rumput pemerintahan," jelasnya.

Dalam pandangannya, sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) seharusnya dihapuskan karena dianggap tidak efektif dalam memilih pemimpin yang benar-benar memahami pemerintahan. "Pilkada ini wajib ditiadakan karena ibarat membeli kucing dalam karung. Pemilihan kepala daerah seperti bupati, walikota, dan gubernur jelas menghabiskan biaya yang sangat besar dan hanya menghasilkan pemimpin kontrak yang bertanggung jawab selama lima tahun tanpa jaminan mereka memahami pemerintahan dengan baik," tambahnya.

Menurut Dr. Djonggi, alumni IPDN yang sudah digodok sejak di kelurahan dan kecamatan wajar jika menjadi kepala daerah, bahkan menjadi Menteri Dalam Negeri. "Panglima TNI atau Kapolri orang yang paling tahu suka duka para prajurit karena mereka digodok dari bawah hingga menjadi jenderal. Demikian juga alumni APDN atau IPDN yang sudah digodok sejak di kelurahan dan kecamatan, wajar jika mereka menjadi kepala daerah bahkan menjadi Mendagri," ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Dr. Djonggi tetap tidak setuju dengan sistem Pilkada meskipun sudah ada perubahan syarat calon kepala daerah. "Walaupun sudah dirubah syarat calon kepala daerah, saya tetap tidak setuju adanya Pilkada, karena itu hanya memilih kepala daerah yang dikontrak untuk bekerja selama lima tahun tanpa jaminan pasti bahwa mereka memahami pemerintahan, apalagi dengan biaya kampanye yang sangat besar," pungkasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline