Jakarta, -- Mantan Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) bidang HAM, Dr. Djonggi M Simorangkir, SH, MH, mengusulkan penghapusan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai langkah untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi pemerintahan. Dalam wawancaranya, Dr. Djonggi menyampaikan pandangannya tentang pentingnya peran para alumni IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dalam pemerintahan Indonesia.
"Hapuskan Pilkada sebagai sumber korupsi. Yang pantas menjabat sebagai kepala daerah hingga menjadi Menteri Dalam Negeri haruslah para alumni IPDN. Dahulu pendidikannya masih sebatas APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri), setingkat Akademi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Alumninya bisa mencapai KAPOLRI (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia), yang dulu termasuk setingkat AKABRI," kata Dr. Djonggi.
Dr. Djonggi menjelaskan bahwa kini AKABRI telah dipisah menjadi Akademi Militer AD, Akademi Angkatan Laut, Akademi Angkatan Udara, dan Akademi Kepolisian. Keempat akademi ini setara dengan APDN, yang sekarang telah naik kelas menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), mengungguli AKABRI.
"Fakta perjalanan para alumni AKABRI yang kini telah terpisah seperti Akademi Kepolisian, mereka sudah dilatih menjadi Kapolsek, meningkat menjadi Kapolres, kemudian menjadi Kapolda, dan akhirnya menduduki jabatan puncak sebagai KAPOLRI, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Demikian juga para alumni Akademi Militer sudah teruji menjalani tugas sebagai DANRAMIL (Komandan Komando Rayon Militer), meningkat menjadi DANDIM (Komandan Distrik Militer), kemudian menjadi PANGDAM (Panglima Komando Daerah Militer), dan akhirnya menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), serta puncaknya menjadi PANGLIMA TNI yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia, membawahi ketiga angkatan: Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara," lanjut Dr. Djonggi.
Dr. Djonggi menegaskan bahwa yang pantas menjadi Menteri Dalam Negeri haruslah para alumni APDN, yang kini menjadi alumni IPDN. "Menteri Dalam Negeri ini paling mengetahui suka duka, maju mundurnya seluruh warga Indonesia, mulai dari level desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, hingga gubernur, sehingga Presiden tidak perlu repot mengontrol kinerja para kepala daerah. Presiden hanya perlu melakukan cek dan ricek mendadak apakah para kepala daerah benar menjalankan tugas seperti yang dilaporkan oleh Menteri Dalam Negeri, sehingga tidak perlu membuang waktu melakukan cawe-cawe," ujarnya.
Dr. Djonggi juga menyampaikan bahwa APDN yang telah meningkat pendidikannya menjadi IPDN sudah dididik untuk mengetahui seluk beluk pemerintahan Republik Indonesia, termasuk studi perbandingan melihat negara-negara yang maju, bahkan diajarkan melihat negara-negara yang tidak maju atau bahkan menjadi ambruk karena penataan pemerintahan yang amburadul. "Para kepala daerah yang tidak paham seluk beluk daerah yang dipimpinnya menjabat hanya karena dipilih oleh rakyat yang tidak paham ilmu pemerintahan, apalagi yang sangat berbahaya, yaitu menduduki jabatan kepala daerah karena money politik dengan biaya puluhan bahkan ratusan milyar rupiah, apalagi didanai oleh para cukong penyandang dana. Hal ini menyebabkan munculnya para mafia proyek, padahal gaji dan tunjangannya kecil tidak seberapa," tegasnya.
Menurut Dr. Djonggi, alumni IPDN sudah terlatih menduduki jabatan, dimulai dari menjadi lurah, meningkat menjadi camat, dan para kepala bidang di level kantor bupati, kantor walikota, kantor gubernur. "Para pegawai teladan alumni IPDN inilah yang harus diberikan hadiah menjadi bupati atau walikota, gubernur, maupun menjadi Menteri Dalam Negeri. Ibarat para penerima tongkat Bintang Makayasa di lembaga alumni Akademi Militer yang menjadi Komandan Rayon Militer, Komandan Komando Distrik Militer, Pangdam (Panglima Komando Militer), kemudian menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) bahkan menjadi Panglima TNI dari alumni Akademi Militer, bukan dari luar yang tidak paham pemerintahan. Jabatan kepala daerah dicapai karena karir, sehingga tidak perlu ada kolusi untuk merampok uang rakyat yang ditujukan untuk pembangunan agar rakyat hidup makmur tanpa pungli. Semoga," tutup Dr. Djonggi.
Dr. Djonggi menambahkan, "Kenapa Para Kepala daerah harus dari Alumni APDN kini IPDN, sebab Para Alumni APDN atau IPDN sudah pernah menduduki jabatan terendah sebagai pejabat paling bawah di pemerintahan sebagai Kepala Kelurahan, yang jika ditarik garis lurus langsung ke Presiden sesuai UU No.5 tahun 1974 mengenai sistem pemerintahan di daerah. Kepala kelurahan yang mengetahui warganya yang berhubungan langsung dibantu para RT RW yang ada di kelurahannya, warganya dari semua lapisan masyarakat termasuk Presiden sebagai warganya, Para Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, para Jenderal, kaum Lansia, Kaum Muda, para Guru Besar, para Doktor, para Konglomerat dan termasuk kaum ELIT = Ekonomi Sulit."
Para kepala daerah yang terpilih dari hasil Pilkada berpotensi melanggar HAM karena belum tentu paham menjalankan pemerintahan dengan benar sehingga menyengsarakan rakyat, tambah Dr. Djonggi, mantan ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) bidang HAM 2 periode. "Sebaiknya Pilkada ini menjadi Pilkada terakhir menuju pemerintahan Negara Hukum yang baik," pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H