Lihat ke Halaman Asli

KANA KURNIAWAN

Ketua Umum PP Pemuda PUI, Direktur Mataram Institut

Politik Hukum UU ITE

Diperbarui: 24 Maret 2021   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Kana Kurniawan (Ketua Umum PP Pemuda PUI)

Dalam suasana pandemi dan banyaknya bencana, publik diramaikan dengan gugatan atas UU ITE. Sebagian masyarakat menilai, regulasi ini syarat ancaman demokrasi: memasung berpendapat atau kritik di muka umum atau media sosial dan betapa mudahnya orang terjerat hukum. Di sisi lain, regulasi tersebut melindungi warga negara dari pelanggaran asusila, pencemaran nama baik, penghinaan, kekerasan atau pemerasan, dan perjudian di media sosial.

Revolusi Industry 4.0 dan sekarang memasuki revolusi 5.0, betapa cepatnya kemajuan teknologi yang disertai pergeseran budaya masyarakat. Etika dan moral yang menjadi pilar hubungan antar sesama semakin menurun di tengah derasnya informasi dan rendahnya literasi. Kian pudarnya budaya tabayun (klarifikasi), husnudzan (berprasangka baik) dan qul khairon au liyasmut (berkata baik atau diam) sebagai etika dalam menyerap berbagai berita. Terlebih berita politik.   

Politik UU ITE 

Mulai 2000-2005, kecepatan teknologi dan pemuatan data tanpa piranti keras menjadi tantangan tersendiri. Transaksi elektronik mulai diminati banyak orang. Tanpa terkecuali, media sosial sebagai ruang baru masyarakat melek teknologi mendapat perhatian dari para aktivis politik. Dari topik pertemanan seputar kehidupan domestik melebar ke bahasan wilayah publik. Mudahnya akses, media sosial jadi arena kritik sosial, politik dan hukum. Muncullah perdebatan pro kontra.

Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, siber dan dunia maya yang belum ada pengaturannya direspon. Era Presiden Megawati (2003), Unpad dan ITB menerbitkan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi sementara UI mengeluarkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 April 2008 sebagai UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di jaman Presiden Jokowi diperbarui menjadi UU No. 19/2016.

Setelah banyak makan korban, regulasi tersebut menuai banyak kritik. Kritikan atas penerapannya dinilai banyak memuat pasal karet dan dituduh sebagai ajang kriminalisasi. Terutama kelompok-kelompok yang secara politik bersebrangan dengan kekuasaan. Para kritikus merasa UU ITE adalah ancaman berdemokrasi dan rawan digunakan untuk membungkam. Bukan menciptakan tatanan demokrasi yang berkeadilan dan menegakkan HAM, justeru sebaliknya menurunkan kualitas demokrasi. Banyak orang takut bicara sekalipun benar.          

Dari konfigurasi politik ke perlindungan

Mencermati gejolak tersebut. Kita diingatkan oleh temuan kajian Mahfud MD jauh sebelum reformasi, bahwa produk hukum lahir dari konfigurasi politik beserta karakter produk hukumnya (Mahfud MD, 1996). karenanya, secara politik---bisa diduga mengandung tujuan perlindungan simbol negara (kepala negara), pejabat publik yang kerap jadi sasaran ujaran kebencian dan pencermaran nama baik. Lalu kemudian, oleh pendukung kekuasaan menjadi sarana perlawanan sekaligus membungkam.   

Dari muatannya, regulasi ITE terutama pada bagian kedua secara khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Sementara bagian satu terkandung ilegal konten, diantaranya informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong (hoaks), penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik. Di sub bagian dua mengatur akses ilegal diantaranya hacking. Lalu sub bagian tiga ada illegal interception, yakni bentuk penyadapan serta sub bagian empat terkait data interference, contoh ada upaya gangguan atau perusakan sistem yang ilegal.

Melihat UU ITE ibarat buah simalakama. Ditegakkan sangat riskan, terutama dalam kebebasan bicara sebagai bagian dari HAM. Dan atau mengemukakan pendapat di muka umum seperti di medsos dari sebab adanya penyumbatan komunikasi antara rakyat dan negara. Padahal, boleh jadi "kritik" pedas itu ibarat obat manjur untuk mengobati agar sembuh total. Yang dipahami oleh pihak lain sebagai ujaran kebencian atau SARA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline