XENOGLOSOFILIA
Manusia diberi anugerah bisa berkomunikasi dengan bahasa. Peradaban kita demikian kaya, di setiap benua, bahkan hampir di setiap negara, memiliki ragam bahasa yang berbeda. Pun di Indonesia saja ada banyak sekali tutur kata dari bahasa daerah, bukan hanya bahasa Indonesia.
Namun kadang kita menyepelekan bahasa, dan menganggap itu sebatas alat komunikasi saja. Asal yang kita ajak bicara, atau yang baca tulisan kita paham, itu sudah cukup. Padahal jika kita sadari betul, setiap bahasa punya aturan dan tata cara pemakaiannya sendiri.
Atau kita sudah merasa cukup terlalu percaya diri. Kita merasa tak perlu belajar bahasa Indonesia, karena bagi sebagian orang bahasa Indonesia adalah bahasa ibu mereka. Dan bagi yang lain, bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hari. Bahasa yang dipakai hampir setiap saat di media sosial, ketika berselancar di internet, waktu menulis tugas sekolah, dsb.
Kita sudah merasa kemampuan bahasa Indonesia kita baik. Padahal kenyataannya mungkin tidak sama sekali.
Dalam beberapa hal, secara tak sadar kita sering menggunakan kata-kata tidak baku. Bahkan sering mencampur adukkan kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa kita, dengan alasan tak tahu padanan katanya. Atau alasan lain? Mungkin agar terdengar lebih keren.
Kita tak begitu akrab dengan kata-kata seperti tembolok, salindia, unggah, unduh, daring, luring, dsb. Kita juga lebih terbiasa menggunakan kata email, daripada surel.
Walaupun akhirnya pendengar atau pembaca kita jadi bingung, saat kita menggunakan istilah baku dalam bahasa Indonesia. Saat misalnya alih-alih memakai kata jadul, kita malah memilih menggunakan kata arkais. Orang lebih akrab dengan kata takdir, daripada kata predestinasi. Orang juga lebih paham saat kita mengatakan zuhud, daripada asketis.
Belum lagi saat dihadapkan untuk menulis ejaan yang baik dan benar. Apakah nama hari ditulis dengan huruf kapital? Atau huruf biasa? Rabu, ataukah rabu? Kalau diucapkan akan sama saja, tapi saat ditulis itu jelas berbeda.
Kita kadang tak mengenal bahasa Indonesia dengan seutuhnya, karena ternyata dalam praktek (praktek atau praktik?) bahasa sehari-hari, kita masih sering salah dalam penggunaan tanda baca, ejaan, juga kosakata.