Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Kebebasan Adalah Kemerdekaan Pikiran

Diperbarui: 4 September 2020   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

vaidawaidule on pinterest

Kemerdekaan adalah bebas dari ketergantungan. Merdeka adalah tak terikat. Namun begitu banyak yang mengaku bebas, tapi demikian dibatasi geraknya. Terjajah oleh idealisme. Menjunjung tinggi paham Marxisme, namun terkekang oleh kapitalisme.

Suatu hari Malcolm X, tokoh muslim Afrika-Amerika justru mengaku kalau menemukan kebebasannya di dalam penjara. Di tempat itu, dia menjelma "mesin cetak" yang menulis sejuta kata.

Kebebasan dalam berpikir di ruangan sempit dan pengap dengan sel itu membuatnya menemukan sebuah arti. Saat dia bisa menikmati buku, dan tak peduli meskipun kacamatanya jadi kian tebal hari demi hari.

"Waktu berlalu tanpa ada secuil pikiran pun bahwa aku seorang pesakitan. Justru ketika itulah pertama kalinya aku merasakan kebebasan sesungguhnya yang sebelumnya tak pernah kudapat."

Yang lebih hebat lagi adalah Syaikh Ibnu Taimiyah. Salah satu murid beliau berkisah bahwa karyanya mencapai lima ratus judul. Dengan karya sebanyak itu, kira-kira butuh konsistensi empat halaman setiap hari. Mungkin saja lebih.

Menulis empat halaman itu bisa jadi perkara mudah. Tapi menulis "empat halaman setiap hari" jelas-jelas tidaklah mudah.

Menjelang akhir hayat, beliau dilarang berfatwa yang kontroversial oleh pemerintah. Beliau menurut. Tapi beberapa bulan kemudian beliau melanggar larangan itu. Pemerintah Mamluk mengambil tindakan. Beliau ditempatkan di benteng kota Damaskus. Terisolasi tentunya.

Tapi apa yang bisa menghalangi kemerdekaan Syaikh Ibnu Taimiyah? Dalam pengasingan beliau tetap bisa menulis dan berfatwa kepada para pengikutnya. Saat akhirnya pemerintah merampas alat tulis milik beliau, beliau masih bisa melakukannya dengan kertas bekas dan arang. Sesuatu yang ala kadarnya.

Tentunya kita tak bisa membuat seseorang merasa terpenjara, saat dia memiliki kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.

Atau kisah imam as-Syarkhasi. Yang ditempatkan dalam sebuah tempat terasing karena sebuah fatwa yang menyinggung sang Sultan. Mungkin tidak layak disebut dengan sekedar penjara. Sebab tempat itu konon merupakan sebuah sumur!

Tapi tak mampu menghalangi beliau dalam mengajar dan menulis kitab. Kitab al-Mabsuth yang lima belas jilid selesai dengan cara didiktekan kepada santri-santri beliau. Dan beliau masih memiliki satu karya lagi, dua jilid saat berada ditempat tersebut.

Agaknya sedikit malu saat wabah membuat beberapa dari kita beralasan telah dirampas kebebasannya. Kehilangan kemerdekaan. Mungkinkah kita sekedar menutupi rasa enggan dengan cari-cari pembelaan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline