Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Sebuah Rahasia

Diperbarui: 20 Juni 2020   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Suatu hari saat saya membaca antalogi Tak Ada New York Hari Ini. Saya sampai pada barisan sebuah sajak,

"Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung. Dibalik jendela, langit sedang mendung."

Kemudian saya berhenti sejenak. Memandang kopi yang sudah surut itu. Yang tinggal ampasnya itu. Rasa yang mengendap dalam manis yang tidak terasa lagi itu.

Lagu-lagu yang lembut itu, mengalir dalam semilir. Menciptakan harmoni atas semerbak wangi. Dan teduh awan yang berarak itu...

"I'll spread my wings, and I'll learn how to fly,
I'll do what it takes till I touch the sky,
And I'll make a wish,
Take a chance,
Make a change,
And breakaway..."

Lagunya menimbulkan semangat.

***

Sampai lupa kalau sedang sedih. Saking banyaknya orang lalu lalang dan tertawa-tawa. Jiwa jadi terpengaruh. Tapi tak perlu sedu sedan itu. Sebab dengan kebahagiaan orang bisa hidup seribu tahun lagi. Bisa tetap berlari hingga hilang pedih peri.

Bersama puisi-puisi Sapardi tentang bulan Juni. Yang setiap tahun dipentaskan, bahkan dipadu dengan lakon Donquixote. Hingga jadi novel juga. Tapi tak ada hubungannya dengan tokoh rekaan Miguel de Cervantes itu. Lalu saat bulan berganti, ada lirik Gun's and Roses yang November itu. Maka setiap hari dalam sepanjang tahun, ada saja lagu dan puisi yang mengikuti...

Mengapa lagi harus sedih, atau merasa sendiri?

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline