Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Konsep Negara Islam Menurut Pandangan Guru Besar Al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib

Diperbarui: 22 April 2020   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bincangsyariah.com

Membaca salah satu buku karya Profesor Boechari kemarin saya jadi terbayang-bayang akan betapa rumitnya konsep kenegaraan kuno di bumi nusantara. Saya bukan orang pemerintahan. Bukan politikus. Jadi pendapat saya tentang negara gak ada yang penting. Tapi saya punya unek-unek yang ingin saya utarakan. Dengan menulis disini saya harap jika memang saya salah ada yang mau mengoreksi.

Dalam sejarah kerajaan nusantara sesuai buku Profesor Boechari, dinamika kepemimpinan itu begitu rumit. Seorang raja dipilih melalui prosedur yang tidak sederhana. Dia dibantu oleh beberapa bawahan dan pejabat setingkat menteri yang istilahnya kadang berbeda-beda antar satu kerajaan dan kerajaan lainnya. Ada tokoh pemimpin agama. Ada pembagian provinsi dan wilayah. Pemimpin setiap wilayah. Bahkan nantinya juga ada hubungannya bilateral dan multilateral. Kemudian ada hubungannya dagang yang mencakup ekspor dan impor. Itu baru sejarah di nusantara kuno. Kita bisa membayangkan sedikit kompleksnya gambaran tersebut dalam bentuk pemerintahan Indonesia saat ini. Sebagai visualisasi konkrit.

Sistem pemerintahan di luar nusantara juga memiliki acuan sendiri. Konsepnya terus berkembang seiring berjalannya waktu. Jadi seolah tak ada konsep baku, harus begini atau begitu. Ya lihat kondisi sosial ekonomi dan pertimbangan lain juga. Karena cakupannya bukan lagi memperhatikan komunitas atau agama saja. Tapi terkait juga dengan keberlangsungan hidup seluruh umat manusia. Muslim maupun non muslim. Ijtihad politik tentunya dibutuhkan. Sebab disadari atau tidak, bukan hanya umat muslim, non muslim juga memiliki pandangan dan cita-cita tentang kedamaian dunia. Yang cinta damai bukan hanya orang Islam saja. Makanya sekarang ada liga bangsa-bangsa. Pernahkah kita memperhatikan itu?

Maka pandangan masalah ini sebaiknya makin luas. Terlalu egois rasanya jika sudah masuk dalam ekosistem kebersamaan seluruh dunia kok mengunggulkan komunitas sendiri. Apalagi masih mengadopsi pola pemikiran yang mengedepankan rasisme atau fanatisme. Konsep tersebut dalam hukum internasional sudah dipandang tercela.

Memimpin negara itu ya nggak gampang. Kalau ujuk-ujuk mau mendirikan khilafah, paling-paling nanti baru sampai di masalah administratif dan pemilihan khalifah saja pasti sudah geger-gegeran. Itu seperti mau membentuk negara dari nol lagi. Meskipun rencananya mau meniru persis konsep yang pernah ada. Taruhlah kerajaan Mataram yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Diberi tanah di daerah yang sekarang kita sebut Ngayogyakarta Hadiningrat oleh raja Pajang Sultan Hadiwijaya, kalau gak salah. Meskipun andaikata Raden Sutawijaya mau meniru konsep kerajaan Pajang untuk membangun bumi Mataram, tetap saja realisasinya tidak bisa sama persis.

Pernahkah berpikir nanti khalifahnya siapa. Pemilihannya bagaimana. Apakah musyawarah atau demokrasi. Ahwa atau pasrah ke KPU. Nanti nasib pemimpin sebelumnya akan diapakan. Kalau ada pemberontakan dari angkatan bersenjata bagaimana. Kalau negara jadi kosong tanpa pemimpin kemudian banyak daerah memerdekakan diri mau gimana. Sudah diantisipasi belum?

Pikirkan juga jangka panjangnya akan seperti apa. Jangan hanya punya ide tapi tanpa memikirkan risiko dan akibatnya. Sebab pasti kalau sudah merembet ke masalah "sederhana" seperti pembagian wilayah juga akan makin sulit. Nanti wilayah ini dipimpin siapa. Pemuka agama ini yang mimpin siapa. Belum lagi penyusunan undang-undang. Mau pakai UUD 45 atau bahkan mau bikin undang-undang baru. Kalau mau bikin baru yang mengkonsep siapa. Acuannya bagaimana. Rasanya yang ada bukannya damai, malah semakin kacau balau. Ekonomi bisa jatuh. Lihat saja, bahkan isu kecil bisa melemahkan nilai Rupiah. Apalagi hal semacam ini. Bisa-bisa uang orang se Indonesia yang disimpan di bank gak ada harganya lagi. Imbasnya ke siapa nanti?

Kalau sampai berpikir ke situ, jadi tahu maksud dawuh sesepuh. Bahwa bangsa Indonesia untuk saat ini belum mampu diubah menjadi khilafah. Realisasinya yang tidak memungkinkan. Tapi entahlah. Itu yang saya pikirkan. Guru saya mengatakan saat ini Indonesia memang tidak mampu mendirikan khilafah. Awalnya ego saya berpikir bahwa Islam selalu menang. Tapi akhirnya banyak yang saya sadari bahwa nyatanya ide itu tak selamanya bisa diwujudkan. Seperti yang pernah saya tulis, bahwa dalam berpikir kita bisa memandang sejauh mungkin. Tapi dalam bertindak, kita hanya bisa melakukan apa yang paling mungkin.

Saya menyimak pemaparan Syaikh Ahmad Thayyib tentang klarifikasi fikih dalam dua macam. Fikih realita dan fikih nash. Fikih realita, fiqhul waqi' bisa dikatakan tidak bertendensi dengan nash, menurut keterangan beliau. Karena fikih realita ada kaitannya dengan kondisi dan situasi yang berkembang pada zaman tersebut.

Bahkan menurut Syaikh Ahmad Thayyib, fikih kenegaraan waktu era khalifah ada yang mengadopsi sistem yang berlaku di Romawi. Seperti contoh kecil, misalnya adalah konsep mu'ahadah. Perjanjian non agresi. Jadi, fikih kenegaraan sebenarnya bukanlah fikih nash. Fikih nash tidak bisa ditawar. Sedangkan konsep negara Islam adalah fikih sebagai bentuk penyesuaian zaman.

Masalah ini sudut pandangnya luas. Pembahasannya melangit. Karena terkait juga dengan relevansi dan hubungan internasional. Urusannya adalah perdamaian dunia. Bukan lagi masalah internal muslim semata. Perhatikan juga keharmonisan hubungan antar agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline