Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Tiwikrama, Saat Seseorang Sakti Habis Kesabarannya

Diperbarui: 21 April 2020   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rahwana dalam wujud sebagai Prabu Dasamuka. | sumber: harekrsna.com

Salah satu kalimat yang menarik buat saya dalam dunia pewayangan adalah kata Tiwikrama. Istilah itu begitu luar biasa. Mereka yang sudah tahu banyak tentang kisah nenek moyang itu, tentu tahu betul makna frasa tersebut. Dan saya sendiri masih sangat awam. Bisa dikatakan tidak tahu apa-apa malahan.

Tiwikrama adalah saat seorang telah habis kesabaran dan kebijaksanaannya. Lalu murka, kemudian menjelma wujud jadi luar biasa kuat. Pepatah lama bahwa sabar itu juga ada batasnya. Wes gak iso diomongi alus berarti njaluk dikasari.

Cerita asli wayang sendiri setahu saya berasal dari India. Ada epos Ramayana dan Mahabharata. Meskipun secara garis besar cerita pewayangan Indonesia masih sama dengan cerita aslinya, namun cerita wayang Indonesia sudah ditambahi berbagai hal yang aslinya tidak ada di India, seperti karakter kiai Semar.

Tokoh favorit saya pada saat masih kecil adalah Bimasena putra Kunti. Anak kedua dari Pandawa bersaudara ini saya sangat suka karena kekuatannya. Namun dibalik itu ternyata hatinya lembut. Saya lebih sering memanggilnya dulu dengan sebutan Werkudara. Werkudara artinya konon adalah perut serigala. Saya masih ingat cerita mbah saya, dulu saya begitu percaya bahwa Gunung Sumbing sampai bisa begitu karena diinjak oleh Werkudara. Lucu kalau ingat kisah mbah saya itu.

Bagi masyarakat Jawa kuno, cerita wayang adalah sakral. Dongeng yang sangat membekas di hati. Luar biasa saat nenek moyang kita bisa mengadopsi cerita dari luar negeri itu, menjadi disisipi budaya yang mampu membentuk masyarakat kita dulu. Termasuk tokoh Semar tadi misalnya. Sesepuh Punokawan tersebut sarat akan nasihat dan petuah. Disamping sosok sederhana yang sebetulnya sangat kuat. Sosok Semar bagi saya adalah semacam simbolisme untuk menasihati orang tanpa harus mituturi.

Siapa yang menyangka kiai Semar yang selalu tampil sederhana, bijaksana, dan murah senyum ternyata demikian sakti. Bisa menjelma Tiwikrama saat murka. Sumber yang saya baca, kiai Semar bisa kembali ke wujud aslinya menjadi Batara Ismaya, yang super sakti. Segala ucapan bisa jadi kenyataan untuk menyelamatkan keadaan. Apa yang mungkin kita kenal sebagai sabdo pandhito ratu.

Tak hanya Semar, dalam versi aslinya titisan Wisnu (Arjuna Sasrabahu, Kresna) yang kuat bisa bertiwikrama menjadi Brahala raksasa sebesar gunung yang mempunyai seribu tangan dan senjata.

Luar biasa. Kisah manga one piece gak ada apa-apanya. Di dunia One Piece ada Kaidou yang saking kuatnya gak bisa mati-mati. Hobinya bunuh diri. Walaupun gak pernah berhasil. Di dunia wayang juga ada tokoh yang bisa dikatakan lebih kuat dari Kaidou nya One Piece. Bisa anda bayangkan?

Tokoh wayang sakti mandraguna yang saya maksud tadi adalah Bambang Wisanggeni putra Arjuna dan Antasena putra Bimasena. Sayang mereka berdua meninggal sebelum perang Baratayudha. Sebagai syarat kemenangan Pandawa. Satu quote yang saya suka dari dua tokoh tadi adalah "guyonan" orang tentang kesaktian mereka yang seolah tak bisa mati-mati. "Mbok sedino mati ping pitu tetep tangi maneh..."

Bayangkan sendiri saktinya seperti apa.

Tak ada habisnya kalau dibahas. Apalagi jika mulai menelusuri nilai-nilai dan simbolisme yang disisipkan oleh sesepuh dan nenek moyang kita. Orang Jawa kuno selalu tertarik dengan cerita yang berbau kesaktian dan kejadugan. Luar biasa ini dimanfaatkan sebagai celah guna berdakwah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline