Saya senang membaca kolom-kolom KH. Abdurrahman Wahid. Pada era 70an hingga 80an, beliau aktif menulis. Sangat produktif menghasilkan esai. Tidak sekalipun saya meragukan kapasitas keilmuan Gus Dur dalam agama.
Pengetahuan agama beliau mumpuni, namun sering dalam kolom beliau, beliau membahas banyak hal yang hampir-hampir tak menyinggung satu dalil apapun.
Bukan seperti jaman sekarang, tak sedikit orang berlomba-lomba mengisi tulisannya dengan kutipan. Agar kelihatan ilmiah. Dibumbui bahasa yang njlimet, akhirnya orang jadi makin malas membaca.
Padahal setahu saya, dulu kiai kuno itu kalau dawuh jarang ada arab-arabannya. Saya yakin betul banyak dalil sudah hafal di luar kepala, tapi dalam menyampaikan kepada masyarakat umum, lebih sering dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Lebih banyak dengan suatu pendekatan, atau memakai makna pengejawantahan akan kehidupan. Jika ditanya masalah, lebih sering jawabannya, "riyen kiai A ngukumi mekaten." Bukan, "niku ting kitab anu wonten keterangan mekaten."
Tulisan-tulisan Gus Dur sangat beragam. Beliau membahas sosial, politik, budaya, agama, musik, bahkan sepakbola. Ide yang sepele bisa diangkat menjadi sesuatu yang penting. Dan masalah rumit kadang disikapi dengan sederhana.
Ide tentang lelucon misalnya. Bisa jadi hal serius. Diambil sisi lainnya. Dan masalah gejala kekakuan dalam beragama, yang sebenarnya tema sensitif, disikapi dengan ringan dalam esai berjudul "Tuhan tidak perlu dibela."
Saya masih sering melihat, ada orang yang membagikan kolom lama Gus Dur. Lalu membandingkan dengan masalah hari ini. Lewat potongan gambar di kolom tulisan era orde baru itu, kita bisa melihat banyak hal dalam tulisan beliau yang masih relevan sampai hari ini. Tapi seharusnya kita bisa meraba, bukan saja isi tulisan. Tapi bagaimana sikap yang diambil. Dilihat dari sisi kontekstualnya.
Salah seorang wartawan senior, almarhum Syu'bah Asa saat masih bekerja di redaksi Tempo cukup dekat dengan Gus Dur. Gus Dur memang sering menulis di kolom majalah Tempo.
Di jajaran jurnalis Tempo, beliau dikenal sebagai sosok yang bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, disamping luas perhatian, dan banyak guyon.
Di mata mas Syu'bah, beliau itu sosok yang sederhana. "Gus Dur orangnya segar, datang dengan gaya selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah pakai sepatu, pakai hem pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak." Demikian kenang mas Syu'bah di pengantar buku "Melawan Melalui Lelucon."