Arus informasi sudah hampir tak ada bedanya seperti sungai. Bahkan kadang lebih mirip banjir. Mengapa sungai? Seperti sungai, dengan memiliki ponsel, kita terpaksa mau tak mau harus mendapatkan informasi. Ini yang saya rasakan. Seberapapun gak ingin tahunya tentang berita, saya terpaksa mau tidak mau akhirnya jadi tahu.
Seberapapun saya sampai blok akun-akun yang tidak perlu, dan memanfaatkan algoritma media sosial yang mengisolasi penggunanya dengan semampu saya, tetap gak bisa dibendung. Sudah seperti banjir. Orang tetap saja membahas sesuatu yang sedang hangat. Baik dengan jalan terang-terangan, bahasa yang lugas, atau bahkan bahasa satire. Terpaksa jadi tahu ada apa.
Tapi seperti halnya sungai, air yang mengalir dari sungai sebenarnya adalah air jernih. Yang benar-benar bisa berguna bagi kehidupan. Tapi sejernih-jernihnya sungai, tetap saja ada air keruh yang turut serta, tetap saja ada sampah yang ikut terbawa. Jadi bukan hanya hal positif, tapi mau gak mau juga ada hal negatif. Tidak mungkin rasanya, orang memanfaatkan media sosial saat ini demi mencari sesuatu yang dibutuhkan dirinya saja, dan yang berguna bagi dirinya saja. Mau tidak mau, ada juga informasi yang tidak dibutuhkan, tapi akhirnya lewat di timeline. Nyelonong begitu saja tanpa permisi.
Syukurlah tahun politik sudah selesai. Saat periode pilpres kemarin. Mau tak mau orang harus melihat perdebatan tentang kampanye politik. Karena memang dilakukan dengan sangat masif. Banyak kontroversi berlebihan. Dan isu yang sebenarnya melenceng dari kenyataan. Dan hal inilah yang menarik buat orang.
Akhirnya jadi banyak orang yang benci tanpa pernah bertemu. Jadi benci tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dibenci. Benci cuma karena orang lain benci. Lalu membuat kubu-kubu. Sayang sekali, siklus lima tahunan ini mungkin akan kembali lagi.
Hampir semua pengguna internet mengalami masa pubertas di medsos. Ingin viral. Puas kalau postingan dibaca banyak orang. Puas kalau ada yang like dan share. Puas saat punya banyak follower. Tanpa peduli siapa saja yang di follow. Rasanya kalau dipikir kembali, mengalami kondisi semacam itu seperti kita jadi anak-anak lagi.
Padahal usia sudah hampir kepala tiga. Kedewasaan dalam dunia nyata sering tidak diimbangi dengan kedewasaan di media sosial. Sering pakai nama palsu. Sering pakai foto palsu.
Seperti dawuhnya Gus Mus, aw kama qola, orang sembunyi dibalik foto profil bergambar monyet. Memang ada orang yang bermasalah dengan privasi. Sehingga fotonya gak mau disebar. Tapi bersembunyi dibalik fake akun dan foto palsu demi menulis sesuatu yang bisa memancing keributan? Apa bedanya dengan anak kecil yang melempari rumah tetangga lalu kabur. Gak mau bertanggung jawab.
Sekarang orang bisa bebas share informasi. Siapapun boleh. Dan informasi apapun. Kita masih sering melihat, atau bahkan mengalami sendiri, saat menemukan postingan yang menarik, lalu hanya karena baper akhirnya di share. Hanya karena bagus di share. Hanya karena hal sepele. Atau iseng. Sudahkah di cek faktanya?
Usahakan cek fakta dengan google image. Untuk mengetahui apakah gambar yang kita dapat asli atau hoax. Kalau memakai browser dekstop mudah. Tapi yang agak sulit kalau pakai ponsel. Makanya perlu aplikasi tambahan. Cobalah aplikasi ini,
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.palmteam.imagesearch