Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Yann Martel dan Nasihat tentang Kejujuran

Diperbarui: 20 Maret 2020   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Catatan Yann Martel di awal buku Life of Pi itu menggelitik hati saya. Dengan lugu Yann Martel bercerita tentang wisatanya ke India.

Saya tertegun saat Yann Martel menggunakan diksi yang tepat dalam menginterpretasikan kejujuran. Kejujuran, walaupun pahit adalah jalan yang mestinya dihadapi.

Saat kita menggunakan satu kebohongan, maka akan ada kebohongan selanjutnya. Semakin hari, situasi memaksa kita untuk semakin menumpuk kebohongan. Sebuah kebohongan kecil, akan membiasakan kita menuju kebohongan besar.

"Pada orang-orang yang menanyakan apa pekerjaanku, ingin aku mengatakan, 'Aku dokter,' sebab zaman sekarang ini dokter dianggap pelaku mukjizat dan keajaiban. Tapi bagaimana kalau nanti ada kecelakaan bus, lalu semua mata tertuju ke arahku, dan di tengah-tengah ratap tangis serta erangan orang-orang, aku terpaksa menjelaskan bahwa maksudku aku bukan dokter, melainkan doktor dalam bidang hukum; tapi kalau mereka lantas memintaku membantu menuntut pemerintah atas kecelakaan ini, lagi-lagi aku terpaksa mengakui bahwa sebenarnya gelarku adalah sarjana filsafat; berikutnya, terhadap seruan orang-orang yang menanyakan apa makna di balik tragedi berdarah ini, aku bakal terpaksa lagi mengakui bahwa aku hampir tidak pernah menyentuh Kierkegaard; demikian selanjutnya. Jadi, aku bertahan saja pada kebenaran yang sederhana dan menyakitkan itu."

Sepanjang jalan, di sana-sini, ada saja yang merespons, 'Penulis? Benarkah? Saya punya cerita untuk Anda.' Kebanyakan cerita-cerita itu sekadar anekdot belaka, kurang menarik dan kurang mengesankan."

Berpura-pura itu memang melelahkan. Kita bahkan bisa menjadi diri kita sendiri. Tak perlu meresapi makna "rumput tetangga lebih hijau." Sebab frasa itu benar adanya. Tak perlu jadi orang lain, hanya untuk nantinya menyesali telah meninggalkan kehidupan indah yang sebenarnya sudah kita miliki sejak awal.

Singkat kata, kita tak perlu berpura-pura. Jadilah diri sendiri yang apa adanya.

Mungkin saya bisa cerita tentang novel Life of Pi lain kali. Sementara, cerita catatan penulisnya dulu. Beberapa buku memiliki sisi menarik masing-masing. Setiap orang memiliki selera yang berbeda dalam menikmatinya. Ada hal yang bagi sebagian orang biasa-biasa saja, tapi bagi orang lain itu sangat luar biasa. Ada hal yang luar biasa bagi banyak orang, tapi akan menjadi biasa-biasa saja bagi orang lain. Sebuah buku, bisa menghasilkan seribu tulisan lain. Karena kita bisa melihatnya dari seribu sudut pandang yang berbeda-beda.

Membaca Life of Pi, saya jadi ingat model dan ciri khas penulis senior Indonesia seperti mas Triyanto Triwikromo. Konon, novel ini pernah ditolak sampai lima kali sebelum akhirnya diterbitkan. Saya sungguh sering menyayangkan, saat orang punya gagasan bagus, namun mudah menyerah. Lihatlah Stephen King. 

Novel pertamanya, Carrie, draftnya saja ia buang ke tempat sampah. Setelah jadi tokoh besar, ide yang sebenarnya "layak masuk tempat sampah" saja bisa jadi buku laris, yang dikagumi banyak orang. Apalagi ide-ide lain yang benar-benar hebat. Jadi jangan pernah melewatkan catatan kecil apapun. Kita tahu, meski hanya sebuah catatan belanja, kalau asli milik Leonardo da Vinci, itu sangat mahal.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline