Lihat ke Halaman Asli

Kamni iwan

Wiraswasta hair stylist sekaligus owner boyz two men salon

Politik Dua Kaki Demokrat pada Bawaslu

Diperbarui: 7 September 2018   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cuitan Andi arif Wasekjen partai Demokrat mengenai 'mahar' setengah trilyun, masing-masing untuk PKS dan PAN agar Sandiaga yang maju dijadikan sebagai Cawapres bukan AHY, ditindaklanjuti Bawaslu/ Panwaslu dengan pemanggilan Andi Arif sebagai pihak yang pertama kali melontarkan issue tersebut.

Andi Arif pun sudah tiga kali mangkir dipanggil pihak terkait dengan alasan-alasan laten yang sudah biasa dipraktekkan terperiksa untuk menghindari pemeriksaan, dan ujung-ujungnya seperti publik mafhum memaklumi akan kasusnya (seperti kasus La Nyala Mataliti), Bawaslu pun menghentikan kasusnya, 

Episode ini pun telah berakhir tanpa ada pihak yang terugikan, tapi anehnya justru Andi Arif bereaksi negatif atas sikap Bawaslu ini, yang menganggap pihak Bawaslu pasif hanya menunggu dibelakang meja saja, tanpa peran lebih aktif menjalani pemeriksaan dengan mendatangi dimana keberadaannya.

Tentu publik bertanya-tanya blunder apalagi yang akan dimainkan Sang Andi dengan Partai Demokratnya, harusnya dengan dihentikan kasusnya oleh Bawaslu, justru partai Demokrat diuntungkan, karna luka seterunya (PAN,PKS) yang kini telah bersekutu kembali, tak lagi menjadi ganjalan Demokrat kedepannya, (karena telah memicu disharmoni partainya dengan mitra koalisinya yang berakibat buruk dalam masa-masa kampanye kedepan).

Semestinya bila Andi Arif serius juga tulus ingin menuntaskan kasusnya, tidak usah menyalahkan Bawaslu dengan kepasifannya, seharusnya dialah yang aktif menandatangi Bawaslu diluar jadwal pemeriksaan dirinya. Atau membuat laporan resmi ke aparat hukum tentang perselingkuhan politik yang bertendensi kasus hukum penyuapan, tapi hal ini tidak dilakukannya, mengapa..?

Karena kasus ini sudah menjadi buah simalakama buat Demokrat, strategi buah kelapa pun diambil. Dimana apapun yang sudah terlanjur terjadi haruslah dijadikan manfaat, maka bermain didua kaki pun menjadi pilihan, disinilah peran partai Demokrat bermain cantik.

Di satu sisi sebagai salah satu partai pengusung oposisi, Demokrat tidak ingin kasus ini bergulir dari ranah politik menjadi ranah hukum (bila terungkap kasusnya), karena jelas akan mengerogoti elektabilitas Capres yang diusungnya, untuk itu lah dia (Andi Arif) mengacuhkan panggilan-panggilan Bawaslu agar kasusnya dihentikan dengan alasan tiadanya saksi untuk diminta keterangannya, persis seperti pada kasus La Nyala Mataliti. Dengan begitu Demokrat dinilai seolah akomodatif terhadap kemauan partai Gerindra dan mitra partai koalisinya.

Pada sisi lain pun Demokrat tak mau dianggap tidak kooperatif atas panggilan Bawaslu, karena akan berpengaruh pada kehilangan kepercayaan konstituen pemilihnya dalam Pileg yang berbarengan hajatnya dengan Pilpres.

Untuk memoles citra partainya lalu Andi Arif pun seolah protes keberatan pada Bawaslu karena dihentikan kasusnya, sambil mengkambing hitamkan pihak Bawaslu sebagai pihak yang malas bekerja, dengan situasi ini Demokrat pun diuntungkan lagi, terhindar dari tuntutan masyarakat agar membuka diri seluas-luasnya terhadap kasus ini.

Dari analisis tadi terungkap bahwa Demokrat yang terlanjur terjepit masalah diantara partai oposisi, mencoba bangkit untuk mencari celah keuntungan dengan mengkambing-hitamkan peran Bawaslu, strategi berhasil dan publik pun beralih perhatian lalu menoleh pada kinerja Bawaslu, yang dinilai monoton tanpa diskresi hingga Bawaslu selalu terjatuh didalam lubang yang sama seperti pada kasus mahar La Nyala Mataliti di pilgub jawa timur sebelumnya.

Seperti inilah realitas politik kita, penuh intrik drama, dari drama horor sampai pada komedi humor, dimana pemerannya (elite politik) harus memainkan tokoh cartoon (kardus), Batman (kampret) hingga Chitchat (kecebong) dalam lakon yang tercipta mengalir ditengah masyarakat, tanpa batasan-batasan etika budaya luhur kita. 

Semoga pertunjukan Episode ini akan cepat berakhir seiring dengan tumbuhnya kesadaran elite politik dalam wawasan kenegarawannan

Insya Allah..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline