Haruskah kuraih gelar D3 ku...
Dua kali aku telah gagal, kini yang ketiga kali pun yang baru kurasakan seumur jagung diambang kehancuran pula, bila kelak harus gagal lagi..,tunailah kusandang status duda tiga kaliku.
Bisik hatiku ditengah lajunya sepeda motor yang kupacu diantara keramaian lalu-lintas tugu pancoran.
Kuibaratkan perkawinanku yang sudah-sudah bagai sebuah mekanisme sepeda motor yang tengah terpacu saat ini.
Ku umpamakan aku sebagai bensin sebagai energi penggerak, sedangkan mantan-mantan istriku hanya sekedar olie pelumas yang menopang aktifitas gerakku, gerak roda kehidupan tentunya, tanpa mampu dari gerak itu mereproduksi kelangsungan keturananku.
Tapi dengan perkawinan ketiga ini keadaan berbalik, Clara isteriku kini tengah mengandung, yang katanya buah dari perkawinan kami.
Apakah realita ini harus aku terima sebagai sebuah anomali dari ketidak-mampuanku atau...,
Tidak..! Aku lebih percaya diriku atas 'ketidak-mampuanku' dari pada yang dikatakan Clara sebagai rahmatlah, mukzijatlah...
Bagaimana mungkin, aku telah tervonis mandul, hal ini dapat aku buktikan dari rangkaian hasil pemeriksaan intensif Dokter SpOG bahkan ahli Andrologi, yang sebelumnya pernah kujalani saat masih bersama mantan-mantan istriku, bahkan masing-masing mantanku kini telah dianugerahi anak yang telah beranjak remaja dari perkawinan dengan suaminya.
Memang dalam perkawinan ketiga ini aku tak kan lagi berharap keturunan dari Clara, aku tahu diri, sikap inilah yang membuatku enjoy nyaman tentram menjalani hidup disisinya selama dua tahun belakangan ini, setelah sepuluh tahun hidup menduda.
Tapi ditengah kebahagiaan yang baru kureguk walau tanpa kehadiran sang buah hati, prahara dalam rumah tanggaku kembali terulang, aku berpikir apakah ini suatu berkah atau musibah dari mahligai perkawinan ini.