Pengakuan dan pilihan menjadi sebuah Negara demokrasi – ‘dari, oleh dan untuk rakyat’ dengan spirit menjunjung tinggi kedaulatan rakyat pada kenyataannya saat ini justru memposisikan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tidak selalu ada (absen). Demokrasi hanya menjadi sebuah ‘identitas’ yang sekedar menjadi ‘label’ penanda tetapi tidak mampu mengidentifikasi pemilik identitas tersebut. Menganalogikan istilah tersebut dengan label ‘Islam KTP’ ataupun ‘Islam Abangan’.
Faktanya, telunjuk kekecewaan rakyat saat ini lebih banyak ditujukan pada ‘elit politik’ – anggota DPR, yang dianggap sebagai representasi suara rakyat tetapi secara ‘vulgar’ senantiasa ‘membangkang’ atas kehendak rakyat. Bagaimana begitu kuat penolakan rakyat terhadap rencana pembangunan gedung ‘mewah’ DPR sampai penolakan rakyat atas ‘studi banding’ anggota DPR ke luar negeri yang lebih kental nuansa ‘plesiran’ dan ‘koruptif’nya. Menguatnya pembangkangan elit politik – anggota DPR terhadap pemilik sah kedaulatan merupakan bentuk pelecehan demokrasi dan merupakan ancaman baru bagi demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
Kekhawatiran rakyat terhadap perilaku politisi (elit politik, DPR dan parpol) yang tidak memiliki loyalitas dan senantiasa melakukan pembangkangan terhadap rakyat melebihi kekhawatiran parpol terhadap keberadaan kadernya yang senantiasa berpindah parpol. Sadarkah parpol tersebut, bahwa siapa sebenarnya yang tidak memiliki loyalitas, melakukan pembangkangan dan ‘malin kundang’ yang mengkhianati dan menggerogoti amanat rakyat? Demokrasi yang seharusnya menjadi sesuatu yang sacral, justru dilemahkan oleh syahwat politik para elit yang dipenuhi dengan tradisi demokrasi yang mengedepankan transaksi ekonomi, minus moralitas dan cenderung destruktif. Lu untung, gue untung, dan kite sama2 untung. ataupun bilang ‘wani piro?’, edan….
Inilah realita “demokrasi absurd” yang menjelma ibarat lingkaran setan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Lebih parah lagi, justru sumber ‘kesetanan’ tersebut dimulai pada titik yang seharusnya menjadi panggung utama penegakan demokrasi itu sendiri – DPR. Rakyat saat ini merasakan bahwa elit politik dan partai politik telah ‘gagal’ menjalankan perannya. Gagal karena rakyat senantiasa ditinggalkan, suara rakyat tidak lagi didengarkan, kepentingan rakyat dipinggirkan bahkan dilupakan, dan kesejahteraan rakyat tidak lagi menjadi prioritas. Defisit kepercayaan rakyat bukan lagi diukur oleh intensitas demonstrasi jalanan yang memobilisasi massa, tetapi semakin banyak rakyat berbicara – mulai dari wong cilik sampai dengan wong gede, pada konteks intelektual, berkata pada tataran nurani terdalam, karena memang itulah yang dirasakan.
Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H