Banda Aceh - Kaum muda di Aceh harus paham Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Di dalam Qanun Jinayat ada 10 jarimah kejahatan seperti khalwat, maisir, judi, dan 8 diantaranya lebih kepada masalah personal seperti judi, khamar, dan lain-lain yang merugikan diri sendiri.
Hal itu disampaikan dalam kegiatan perayaan One Day One Voice (ODOV) dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKtP) dengan tema "Orang Muda Aceh Bicara Qanun Jinayah" yang diselenggarakan oleh Forum Aktivis PereMpuan Muda (FAMM) Wilayah Aceh, Jumat, 2 Desember 2022, di Ivory Cafe.
Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengatakan selain yang disebutkan di atas, dalam Qanun Jinayat ada hukuman untuk keadaan yang merugikan orang lain, contohnya kekerasan seksual.
"Kita bahas dulu apa arti dari kekerasan seksual, dan apa arti kekerasan ada upaya paksaan seperti dicolek, disuit. Definisi ini memiliki batasan-batasan yang bisa membuat kita paham. Sekarang ada hal baru seperti groomy yang mana diawal-awal dibuat baik dulu dibeliin cendol dan diakhir-akhir baru dirayu dan kemudian dipaksa, kamu mau atau tidak kalau tidak aku ancam," kata Husna.
Ia menyampaikan dalam Qanun Jinayat ada 2 yaitu pelecahan seksual dan kekerasan seksual. Pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang dilakukan di tempat umum. Definisi ini masih kurang bisa dipahami karena banyak pelecehan seksual terjadi di tempat tersembunyi. Pemerkosaan adalah hubungan seksual yang memasukkan zakar ke dubur karena paksaan atau ancaman terhadap korban. Pada definisi ini ada hal yang terlupakan yaitu bujuk rayu.
"Terkait dengan sanksi pidana, untuk hukuman ada pilihan ada cambuk, penjara, denda. Jika 90 kali cambuk=10 gr emas, 1 cambut sama dengan 9 jt sama dengan 90 bulan penjara. Kemudian untuk hukuman ada peluang jual beli untuk memberikan uang. Kalau hukuman cambuk tidak dikejar jika ada masalah kesehatan," ungkap Husna.
"Alat buktinya itu sumpah dan visum tidak menjadi alat bukti. Yang sering terjadi korban lupa akan alat bukti, baik pelaku dan korban bisa menggunakan sumpah. Sumpah menjadi masalah juga saat pembuktian," tambahnya.
Dengan begitu, lanjutnya, banyak UU di Nasional tetapi itu juga tidak bisa digunakan di Aceh. Untuk kasus kekerasan seksual anak tidak boleh pakai cambuk padahal sudah dikeluarkan surat SEMA terkait hukuman untuk anak, tetapi hal ini tidak dipertimbangkan oleh Pemerintah Aceh.
"Hukuman cambuk selalu gagal dilakukan karena banyak alasan yang disampaikan oleh pelaku seperti sakit, berusia lanjut, dan lain-lain. Akibatnya akan banyak korban dan pelaku bebas untuk melakukan hal tersebut kepada orang lain," tuturnya.
Husna menjelaskan hal yang harus menjadi catatan untuk meneliti kasus kekerasan seksual tidak bisa hanya dilihat satu masalah tetapi harus dilihat dari akar permasalahan utamanya. Pasal-pasal ini sering menjadi transaksi, kemudian banyak sekali aparatur hukum yang tidak paham akan hak anak dan perempuan.