Banda Aceh - Bahas urgensi revisi Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Qanun Jinayat. Flower Aceh bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh dan Solidaritas Perempuan Aceh mengadakan Forum Group Discussion (FGD) membahas urgensi revisi Qanun Jinayat.
Kegiatan yang diadakan di Ruang Meeting, Hotel Rembele, Bener Meriah, Rabu, 6 Oktober 2021 itu, untuk menyikapi berbagai tantangan penanganan hukum anak korban kekerasan seksual dengan tujuan utnuk mendapatkan masukan penting dari berbagai pihak untuk kebutuhan penyusunan naskah akademik perubahan Qanun Jinayat.
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus Nyak Idin, mengatakan ada beberapa pasal dalam Qanun Jinayat yang beresiko apabila diterapkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
"Pilihan utama kita untuk dicabut atau hapus sama sekali pasal 47 dan pasal 50. Sehingga secara otomatis penanganan kekerasan seksual terhadap anak akan kembali ke UU Perlindungan Anak," kata Firdaus.
Kemudian, lanjutnya, rekomendasi tambahan pasal lain terkait anak yang perlu dicabut, pasal 34, pasal 63 ayat 3 dan pasal 64 ayat 3.
Firdaus menjelaskan alasan pasal 47 dan 50 dicabut karena hukuman cambuk dalam kedua pasal tersebut sering sekali gagal dilaksanakan karena alasan pelaku sakit, naik darah atau berusia lanjut dan lain-lain. Akibatnya pelaku harus dipulangkan sementara ke rumah yang notabene kembali dekat dengan korban.
"Korban tentu akan semakin trauma dan depresi, diteror dan mengalami kekerasan berulang," ungkap Firdaus.
Sementara, kalaupun hukuman cambuk jadi dilaksanakan, maka setelah itu pelaku dapat kembali ke komunitas dimana akan bertemu korban kembali. Tentu ini sangat buruk bagi korban.
Firdaus juga menyampaikan pasal selanjutnya seperti pasal 34, pasal 63 ayat 3 dan pasal 64 ayat 3 dalam Qanun Jinayat yang juga diminta untuk cabut karena, dalam pasal tersebut kasus zina, sodomi dan lesbian dianggap dilakukan dengan rela. Menafikan adanya kemungkinan di awal terjadinya kekerasan pada anak.
"Sehingga pelaku hanya dihukum cambuk. Tanpa ada kewajiban rehab mental pelaku dan anak. Secara psikologi pelaku dan anak berisiko mengulangi," ujarnya.