Lihat ke Halaman Asli

Kamal Ramdhan

Kampung Cokelat

Kehidupan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

siswi sekolah pondok pesantren babussalam kalibening jombang

[caption id="attachment_307908" align="alignnone" width="536" caption="siswi sekolah pondok pesantren babussalam kalibening"][/caption] Lima tahun lalu sesekali saya berdiri didepan siswa-siswi yang berjejer persis seperti yang ada di foto ini. Tempat dan tanahnya masih sama. Saya bersama para jajaran guru berdiri berderet ditempat yang dinaungi atap sekolahan, tidak seperti anak-anak ini yang kadang rela kepanasan. Setelah acara upacara selesai kami semua berdo’a bersama mengharap kebaikan dari yang maha pencipta. Saat ini setelah lima tahun berlalu saya seperti orang asing yang ditinggalkan sekawanan burung untuk berhijrah. Padahal sayalah yang berhijrah meninggalkan mereka. Waktu itu saya memutuskan untuk berhenti mengajar demi sebuah kehidupan yang lebih baik. Dengan tangisan ibu saya, saya tinggalkan negeri yang damai menuju tempat yang jauh yang dikatakan orang sebagai “negeri perantauan” Kalimantan. Dan sekarang di Jakarta. Terlalu panjang jika diceritakan semua. Ternyata konsekuenksi dari keputusan besar yang pernah saya ambil tidak seenak yang saya bayangkan. Nyatanya diam-diam saya kangen dengan suasana seperti yang ada di gambar atas. Kadang saya sampai menitikkan air mata melihat tempat saya dulu mencari ilmu dan mengabdi sebagai guru selama empat tahun lamanya. Ingin rasanya kembali memiliki “kehidupan” yang nyaman, tentram dan damai seperti saat-saat saya menjadi guru. Kangen dengan sopan santun murid-murid yang dengan suara lembut menyapa gurunya di jalan. Juga kelembutan “rekan-rekan” guru yang tak lain adalah bapak dan ibu guru saya sendiri sewaktu saya berstatus sebagai murid. Yah, itulah kehidupan. Kita tak kan pernah tahu arah yang akan diberikan oleh Allah. Dalam hidup, apa yang diyakini benar harus ditempuh walaupun ada konsekuensi dibelakang nanti. Saya tidak pernah menyesal pernah mengambil keputusan besar itu. Apapun yang sudah terjadi adalah sebuah takdir yang sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelum ruhku ditiupkan dalam jasad. Jauh sebelum saya menjadi murid, guru dan sekarang entah menjadi apa. Saya lebih suka menyebut diri saya sekarang sebagai “pejuang hidup”. Dengan beraninya tinggal di negeri orang, di kawasan kota yang katanya kota paling kejam di Indonesia, bahkan lebih kejam dari ibu tiri. Di kota ini saya mempertaruhkan nasib dengan iringan takdir yang entah seperti apa nantinya. “Kehidupan”, sebuah kata yang sederhana, namun sangat berliku jika sudah diselami maknanya. Ada orang bijak berkata, “pergilah dari tanah kelahiranmu, tinggalkan semua kemewahan dan kenyamanan yang selama ini kau dapat agar kau bisa mengenal apa yang dinamakan kehidupan itu“. Inilah saya yang sedang menyelami arti dari kata “kehidupan” sesungguhnya, dan rupanya lamat-lamat aku mulai tahu apa kehidupan itu. Ternyata kehidupan itu seperti gentong yang didalamnya tidak terdapat banyak cahaya, saya harus sedikit membelalakkan mata untuk menemukan sesuatu yang tersimpan dalam gentong itu. Lambat laun saya mendapatkan satu persatu yang selama ini saya cari dan tidak pernah saya temukan diluar gentong itu. Gentong itu gelap tapi menyimpan banyak makna yang masih tersembunyi didalamnya. Sampai saat ini saya masih terus mencari. Jakarta, 29-10-2010, 22:33 wib. masih dalam suasana kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline