Lihat ke Halaman Asli

Kamal Ramdhan

Kampung Cokelat

Faktanya Pendidikan Memang Tidak Mungkin Gratis

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_101256" align="alignleft" width="250" caption="gambar : percetakansurya.com "][/caption]

"Tulisan ini pernah saya posting di blog pribadi saya saat menjelang pemilu tahun lalu. saat gencar-gencarnya iklan program sekolah atau pendidikan gratis untuk mencari simpati. Saya ingin memuat ulang disini demi adik-adik siswa yang sekarang sedang bergulat dengan mental dan naskah ujian demi masa depannya."

Sekolah mungkin saja bisa gratis, tapi pendidikan tidak mungkin gratis. Fakta membuktikan bahwa pendidikan memang membutuhkan biaya yang sangat besar jika ingin mendapatkan mutu pendidikan yang bagus. Menurut saya slogan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah tentang pendidikan gratis atau sekolah gratis akan membawa dampak yang sangat tidak baik di masa depan. Logikanya, sekolah-sekolah gratis akan mendapatkan mutu pendidikan yang tidak bagus jika dibandingkan dengan sekolah dengan biaya mahal. Apakah ada sekolah dengan biaya mahal ? banyak.

Saya sering sekali mendengar wali murid, kakak murid, ayah murid atau siapa saja lah yang masih peduli dengan pendidikan mereka (si murid atau bahasa halusnya “si anak didik”). Mereka mengatakan; “sekolah gratis apanya, buku tambah mahal, seragam mahal, banyak biaya ini itu dari sekolah. Kalau dipikir-pikir kok tambah banyak mengeluarkan biaya daripada sekolah yang tidak gratis dahulu”. Dalam hati saya terbersit pertanyaan, “dahulu ? bukankah dahulu saya juga pernah sekolah dan tidak gratis ?”. Masih ingat dengan samar-samar dahulu kala memang sekolah dengan membayar SPP, keluhan yang diutarakan para orang tua atau wali murid sama dengan keluhan yang disampaikan mereka sekarang khususnya orang-orang dengan ekonomi lemah.

Tapi, kawan ! dahulu ekonomi bangsa ini masih sedikit lebih baik dari sekarang. Ketahuilah, dahulu saya ke sekolah membawa uang 25 perak sudah dapat membeli kerupuk lima buah, minum cincau satu gelas plus masih bisa mendapatkan kembalian 10 rupiah untuk membeli bubur kacang ijo satu mangkuk. Betapa murahnya biaya hidup pada waktu itu. Jaman sudah global, nilai tukar rupiah atas negara lain menjadi tolok ukur terhadap mapan tidaknya suatu negara. Artinya, dengan mengiming-imingi sekolah gratis pada saat sekarang ini, pemerintah seperti mengatakan, “Negara kita saat ini sedang mengalami “paceklik”. Kalian para orang tua tidak akan bisa membayar SPP anak-anakmu. Jika ingin menyekolahkan mereka, maka saya beri program sekolah gratis agar mereka tetap bisa sekolah, tapi harus ada imbalannya, yaitu pajak harus dinaikkan, para pemilik usaha, baik kecil, menengah dan besar harus tetap membayar pajak dengan proporsi yang sama”.

Dampaknya adalah komersialisasi pendidikan dan mutu pendidikan yang menurun. Pendidikan menjadi ajang mencari uang bagi pihak tertentu yang menganggap bahwa dunia pendidikan adalah lahan yang sangat menggiurkan untuk mencari uang, toh memang pendidikan tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Masalah pendidikan memang bukan hanya tentang membayar SPP. Pendidikan bisa saja murah dengan kualitas memadai. Memadai dalam arti sesuai dengan kebutuhan lingkungan dimana para anak didik ini akan diarahkan nantinya. Toh tokoh cerita “laskar pelangi” tetap bisa melanjutkan pendidikan sampai ke perancis dan mendapatkan dua beasiswa bergengsi, padahal ketika sekolah dulu hanya memakai pakaian seadanya dan berasal dari kampung. Disini saya ingin mengatakan, pendidikan mahal karena kita ingin mengejar sesuatu yang belum jelas arahnya. Apakah itu ? silahkan dicari sendiri.

Pendidikan adalah masa depan, maka tidak layak mereka se-enaknya dijadikan tempat pembuangan ide  “tidak cerdas” dan upaya (sengaja atau tidak) berupa “pembodohan” massal dari kaum elit, berupa iming-iming sekolah gratis. Kita kadang terlalu terobsesi dengan negara-negara lain yang sudah mapan memberikan program pendidikan murah (saya tidak mengatakan gratis) tanpa melalui proses penelitian dan research yang mendalam dan rumit. Begitu mudahnya memutuskan kebijakan terhadap negara sebesar ini hanya berpatokan dari contoh negara lain, atau dalam bahasa yang saya pahami “mengadopsi kebijakan”.

Kita seperti digenjot dan dipaksa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang sudah lebih baik keadaannya dengan cara memaksa nilai hasil dari proses belajar dengan standar tinggi. Tetapi kata “mengejar ketertinggalan” itu sebenarnya barang basi yang tidak lagi harus dipakai untuk jaman sekarang. Karena pemakaian kata mengejar ketertinggalan berarti ingin menjadi seperti mereka, padahal anugerah yang diberikan Tuhan untuk bangsa kita berbeda dengan mereka. Jaman sudah berubah, jatidiri bangsa lah yang lebih berharga untuk dicari daripada sekedar menggunakan kata “mengejar ketertinggalan”.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengetahui jatidirinya, untuk apa kita diberi tanah yang luas dan air yang melimpah, jika tidak bisa mengelola sendiri dengan baik. Kita kebetulan dilahirkan bukan menjadi bangsa kolonial seperti eropa, atau menjadi bangsa pendatang seperti Amerika dan Australia. Hidup sudah lebih dari cukup dengan hanya memanfaatkan sumber alam di negeri sendiri. Artinya pendidikan tidak harus mahal, tetapi tidak mungkin juga gratis asal sesuai dengan tujuan dari pencapaian pendidikan baik di daerah maupun di pusat. Standar nilai dari kondisi pedesaan tidak bisa disamakan standarnya dengan kondisi perkotaan. Sebab kebutuhannya jauh berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline