Lihat ke Halaman Asli

Kamalludin

Mahasiswa PBA UIN Malang

Pesan Ibuku

Diperbarui: 23 Februari 2021   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ahad, 21 Februari 2021 10 Rojab 1442 H, jika malam Jumat pekan ini malam Jumat Pon maka kemarin malam Jumat Legi. Ini hari kesekian kalinya aku tidur di kamar dengan yang terhubung dengan peralatan salon yang baru saja aku tinggali belum lama ini, dan pastinya sendiri, hehe..

Waktu itu, aku mengerjakan tugas. Memandang layar setebal setengah inci dan sambil menyibak-nyibak buku kuliah. Aktivitas sehari-hari, apalagi jika tugas belum kelar dikerjakan di siang hari. 

Singkat cerita, waktu itu sudah pukul 21.40 WIB -an lah, aku merasakan kantuk yang amat. Aku niatkan untuk tidur di awal waktu, alih-alih aku bisa bangun pukul 01.00. Sambil ku mendoa. 

Kalau dari pengalaman-pegalaman ku ingin bangun di waktu dini hari, biasanya jauh panggang dari api, bahkan bangunnya sampai pernah azan subuh atau penanda jam azan subuh  masjid berbunyi. Tapi gengsss... Aku tidak menyangka, seakan mataku terbelalak terbuka dengan fakta yang telah kulihat dengan sengaja atau tidak sengaja. Hem...  Tapi entah kenapa, waktu terindah itu hanya sekejap saja. seperti "Doi yang pulang kampung 10 tahun sekali" atau ngelihat "Aurora" nongol di siang hari atau mungkin seperti "bidadari" datang menawarkan diri untuk aku nikahi sekarang ini. Tapi rasanya, aku ingin mengulang bunga tidurku.

Ku berdiri dengan tegakku di depan satir kamar mbah. Ku berdiri memandag satir kamar Ibu yang tepat berada di depanku  sedangkan temanku ada di depan ku, di samping kiri satir kamar Ibuku dari arah hadapanku. Rumah kami itu menghadap ke arah barat, pintu tengah rumah itu sepuluh langkah ke tenggara dari arah kamar ibuku yang ada di sisi selatan berhadapan dengan bilik mbah ku yang di sisi utara. 

Mal..., satu panggilan dari ibuku membuat ku takut dan sambil bergumam.

Mal..., dua kali panggilan beliau yang membuatku gemetar, dan bertanya-tanya dalam benakku.

Mal..., tiga kali sudah terpanggil namaku.

"Iya Bu". Sahut temanku.

Ibuku keluar, seraya pelan menyibak satir cokelat persis dengan warna satir yang sekarang.

Ayahku mengelus punggung Ibuku, Abangku yang kedua menatap Ibuku penuh rindu. Aku tidak bisa merasakan lagi beratnya rindu setelah itu. tersimpuh, terjatuh kepala ku, sebagaimana kulakukan saat ibuku selesai memasak dahulu. Aku pecah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline