Sejak purna tugas, relatif saya memiliki lebih banyak waktu untuk mengenal lingkungan tempat saya tinggal. Sambil bersepeda saya mengamati beberapa tempat yang sering saya perlukan seperti laundry, jasa kurir, pedagang sayur dan buah-buahan dan lain sebagainya. Pada saat saya memerlukan makanan berupa sayuran, bumbu-bumbu, tahu tempe, pilihan saya tertuju pada sebuah warung sayuran yang tampaknya cukup komplit dan letaknya hanya sekitar 100 meteran dari rumah.
Biar sekaligus saya membeli lebih dari lima item. Pada saat pedagang sedang menghitung, tiba-tiba datang seorang ibu. Dia membeli bawang dan tempe, dan setengah memaksa ingin dilayani lebih dulu. Pedagang langsung terdistraksi dan kemudian dia melayani sang ibu terlebih dahulu. Saya agak kesal dan mencoba menahan diri. Setelah itu dia kembali menghtung belanjaan saya. Karena hanya mengandalkan ingatan, tanpa dicatat, tanpa kalkukator, tentu saja dia lupa dan mulai dai awal lagi. Belum juga beres, kemudian datang lagi seorang wanita yang membeli sayuran dan kerupuk. Terjadi lagi hal yang sama, pedagang terdistraksi dan melayani dulu wanita itu. Akhirnya saya sampaikan dengan nada datar yang saya usahakan tanpa emosi. "Kang saya kan datang lebih dulu, apa nggak diselesaikan dulu menghitung belanjaannya? Punya kalkulator? Biar saya bantu menghitung?". Akang pedagang dan wanita itu tertegun sejenak. Selanjutnya Akang pedagang menyelesaikan hitungan dengan kalkulator dan wanita itu menunggu (walau tampak terpaksa).
Mengapa mengantri itu begitu sulit bagi kebanyakan orang? Bahkan akhir-akhir ini mulai dikaitkan dengan gender setelah dalam twitter beredar video seorang ibu memaki ibu lainnya dan memaksa motornya untuk mundur, saat mereka sedang dalam antrian membeli bensin di sebuah SPBU. Banyak komentar dalam diskusi membahas video itu. Umumnya mereka mengkonfirmasi pengalaman yang sama tentang ibu-ibu yang suka memotong antrian.
Kita harus mengakui bahwa budaya antri di Indonesia pada umumnya (tidak pandang gender) masih banyak tantangan dalam penerapannya. Merujuk kepada negara Asia yang memiliki budaya antri yang sangat bagus adalah Jepang. Dalam sebuah artikel, disebutkan bahwa di negara Jepang pendidikan moral jauh lebih penting dari pada sekedar mengajarkan anak pandai berhitung seperti matematika atau nilai-nilai akademis lainnya. Begitu pula para orang tua atau guru-guru di Jepang tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar mereka tidak pandai Matematika mereka justru jauh lebih khawatir jika anak-anak mereka tidak pandai mengantri. Karena budaya antri di Jepang itu adalah norma masyarakat yang harus dipatuhi oleh semua orang. Jika ingin diterima hidup bermasyarakat di Jepang.
Menurut artikel tersebut, dinyatakan bahwa , seorang anak hanya perlu dilatih 3 bulan secara intensif untuk bisa memahami matematika, namun untuk agar budaya antri bisa terinternalisasi, prosesnya bisa sampai 12 tahun. Disebutkan pula bahwa dalam mengantri, sejak dini seorang anak belajar manajemen waktu (jika ingin mengantri paling depan, datang lebih awal), belajar bersabar, belajar menghargai hak orang lain, belajar disiplin, belajar kreatif (apa yang harus dilakukan saat menunggu antrian), belajar bersosialisasi dengan sesama pengantri, belajar malu dan lain sebagainya.
Di era ingin serba instant dan quick win, proses belajar mengantri bisa jadi kurang menarik untuk diterapkan secara konsisten dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak alasan yang digunakan untuk melegitimasi pelanggaran norm aini. Namun sebagaimana membangun sebuah nilai-nilai yang baik seperti integritas, tampaknya proses belajar mengantri merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk membangun sebuah peradaban bangsa menuju bangsa yang lebih maju dan berkualitas. (CisarantenBaru13042023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H