Lihat ke Halaman Asli

Masuk SMP Negeri, Ditanya 3 x 27 Nggak Bisa Ngitung... Sangat Memprihatinkan !

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_269317" align="alignnone" width="618" caption="Hadir demi anak-anak"]

1380498876505884959

[/caption] Hari ini, 19 September 2013, Kaloka Education merasa perlu hadir meminjam tempat Kompasiana untuk mengabarkan apa sesungguhnya yang terjadi di dunia pendidikan. Tentunya ada yang lucu, ada juga yang sangat memprihatinkan. Sebenarnya, kata "Kaloka" awal-mulanya kami pakai sebagai wadah masyarakat desa yang peduli terhadap persoalan seni budaya. Aktivitas kesenian 'kelas desa'. Dan, Bunda Mamak ada di dalamnya. Kendati demikian, Bunda Mamak dkk bisa ikut serta sebagai penembang untuk mengiring tampilan pertunjukan sastra Budi Palopo pada Festival Seni Surabaya 2010. Di tahun yang sama, Bunda Mamak dan kelompok karawitannya juga mengiring launching buku Wong Agung (terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur) di kampus UNESA Surabaya. Sehubungan dengan dunia kesenian, sejak Juni 2011, Bunda Mamak merasa perlu memperkenalkan seni dongeng pada anak-anak usia dini. Lalu, warga desa RT 02/RW 01 Domas, Menganti, Gresik Jawa Timur, itu pun ditunjuk sebagai Kepala PAUD yang baru terbentuk. Dan, kendati baru terbentuk, lembaga pendidikan usia dini tersebut bisa mendapat dana hibah dari Pemkab sebesar Rp. 20 juta. Namun, saat proses pencairan, Bunda Mamak resah. Pasalnya, dalam akta hibah Kepala Sekolah yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana hibah tersebut, namun ketika ia ingin mengetahui rincian anggaran proposalnya tak diperbolehkan oleh pengurus lainnya. "Saya nggak mau tanda tangan karena nggak transparan," katanya. Dan, sejak itulah ia memutuskan keluar dari lembaga PAUD tersebut. Setelah terbebas dari rasa resah, pada Januari 2012, dari lingkungan terdekat, ada anak-anak SD yang kesulitan menyelesaikan PR. Datanglah mereka ke Bunda Mamak.  Awalnya hanya 2 orang anak, akhirnya saat ini berkembang hingga 24 orang anak; di antaranya ada sejumlah siswa SMP. Lalu, dari situlah 'terbaca' adanya tengara keprihatinan dalam dunia pendidikan. "Mosok keterima di SMP Negeri, ditanya 3 x 27 nggak bisa ngitung... bukankah hal ini sangat memprihatinkan?" katanya.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline