Polemik mengenai boleh tidaknya orang non muslim menjadi pemimpin masyarakat muslim, sedang hangat menjadi perbincangan sosial masyarakat Jakarta dan sekitarnya saat ini. Kiranya semua orang berkomentar mengenai hal ini, baik itu di warung kopi, sampai di media sosial. Dari yang paham sampai yang tidak paham agama. Dari yang taat, sampai yang tidak taat agama. Mulai dari yang biasa-biasa saja menangapinya, sampai yang matanya melotot-melotot membenarkan argumentasinya masing-masing. Ogut pun tak mau absen berpendapat. Ini pendapat yang biasa-biasa aje, karena ogut bukan siape-siape.
Siapapun memiliki hak yang sama dan boleh menjadi pemimpin asal memenuhi 2 syarat umum yakni amanah dan memiliki kecakapan dibidangnya. Kemudian syarat tersebut menjadi khusus disesuaikan dengan konstitusi di negara masing-masing dan mengerucut pada aturan main tertulis lainnya. Indonesia dalam mereproduksi kepeminpinan menganut paham egalitarian (kesetaraan) – walau dalam beberapa titik paham oligarki masih subur – prinsip kesetaraan itulah yang memungkinkan setiap warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama. Dalam hal ini, boleh-boleh saja non muslim memimpin masyarakat muslim selama mampu dan selama hanya berada dalam dimensi sosial. Ya, lebih baik itu adanya dari pada dipimpin oleh orang bodoh.
Negeri persatuan pancasila tak kali ini saja menghadapi situasi yang seperti ini. Bertempat di kota yang sama,tahun 1945, ketika pancasila itu sendiri dirumuskan oleh 9 orang panitia BPUPKI terdapat perdebatan sengit tentang sila pertama yang memuat dimensi Ketuhanan. Dimana dua agama samawi mempertahankan pandangan dan argumentasinya untuk hal yang demikian sakral dan sangat fundamen ini. Ya, karena inilah yang nantinya sebagai dasar pijakan membangun negara Indonesia.
Atas permusyawaratan kebijaksanaan founding father kita yang mayoritasnya muslim, masalah yang sangat krusial – pada waktu itu dapat terselesaikan diatas meja. Tahun 1960 kita juga pernah melakukan semacam referendum tentang kesetiaan kita pada pancasila atau diganti dengan islam sebagai ideology bangsa. Umat muslim di Indonesia sudah berpengalaman menghindari lubang-lubang yang akan memecah belah bangsa. Dan sekarang apakah kita akan terjebak pada persoalan “Ahok” yang sebenarnya lebih mudah ini.
Gara-gara om Ahok
Pendugaan penistaan agama islam yang mengatakan Al-Qur’an merupakan sebuah kebohongan, khususnya surat Al-maidah ayat 51 mengundang perdebatan panas, hampir-hampir umat islam diadu domba tentang tafsir surat Al-maidah ayat 51 yang mengatakan “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambi mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Pendapatpun bermunculan, ada yang mengatakan gubernur bukanlah pemimpin melainkan hanya pesuruh rakyat. Ada yang mengatakan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut adalah ketika dalam kondisi perang. Dan ada yang mengatakan kita tidak boleh menafsirkan Al-Quran. (seru sih buat kita memperdalam agama, namun sedih juga karena hanya seorang Ahok kita jadi berdebat tentang kitab suci kita sendiri).
Serahkanlah pada ahli tafsir tentang surat Al-maidah tersebut. Kita yang tidak paham betul jangan ikut-ikut menafsirkannya. Jangan sampai kita semua hanya terpusat pada isi surah dan melupakan om Ahok yang mengatakan Al-qur’an sebuah kebohongan dan pembodohan. Walau videonya di edit, atau katanya sebenarnya tidak mengarah pada penistaan, namun perkataan itu baik adanya di tengah, disambung, atau dimanapun letaknya tidaklah dibenarkan karena akan menimbulkan konflik.
Sebuah kemunduran bagi umat islam bila membiarkan fenomena ini berlalu begitu saja, dan merupakan sebuah kemunduran pula menjadi islam reaksioner yang gampang ditunggangi. Umat muslim jangan menciderai perjuangan dan perjalanan panjang islam itu sendiri di Indonesia. Pengadil yang pantas untuk ahok adalah hukum. Dan kita sama-sama mengawalnya. Kita sedikitpun tak berhak mengadili seseorang, tapi kita bisa memberikan hukuman sosial pada seseorang.
Buat om Ahok, percayalah umat islam Indonesia masih berakal sehat dan tidak terpangaruh soal indentitas anda. Tapi kami kecewa atas ucapan anda terkait kitab suci kami. Kami mengakui anda memiliki kemampuan dibanding calon lainnya. Tapi sifat anda membuat kami harus berfikir ulang apakah anda layak memimpin kembali Jakarta. Nah lo… tapi kalau hukum mengatakan om Ahok terbukti menistakan agama, berarti pasangan calon ahok-jarot harus terdiskualifikasi sebelum lonceng pilkada dibunyikan. Tapi kalau hukum kita mengatakan hal lain, kita bisa memberikan hukuman sosial padanya dengan cara….(titik-titik) Ya, pasti saudara-saudara udeh pada tahu…
oke itu pendapat ogut, moga nertal ya